51. Waktu Terhenti

1.6K 283 11
                                    

Suara deru air memenuhi telinga Menno. Gelap malam dan riak sungai memenuhi Indra penglihatan Menno. Dalam keadaan biasa, Menno pasti akan mempertanyakan alasannya melemeparkan tubuhnya ke sungai begitu saja mengikuti Panglima. Tapi saat ini, di kepalanya hanya ada Putra Agung Artunis.

Di mana pria itu?

"Panglima!"

Suara Menno, seperti tubuhnya timbul tenggelam dalam arus kencang yang, menyeretnya. Lalu ia merasakan genggaman tangan. Panglima berhasil berpegangan pada sebongkah batu dan menyambar tubuh Menno, menariknya hingga mereka bersisian.

Dia masih punya tenaga?

Menno menggunakan kesempatan itu untuk mematahkan anak-anak panah di bagian perut Panglima. Di sungai dengan arus sederas ini, anak-anak panah yang menancap di sana bisa mematikan.

Panglima tidak mengatakan sepatah kata pun. Ia mengatur nafasnya, sambil sesekali melenguh menahan rasa sakit. Matanya perlahan menutup. Menno memegang erat bahu Panglima dan mengguncangkan tubuhnya.

"Jangan menyerah."

Panglima mengangguk pelan, namun tubuhnya berkata lain. Suara Menno maupun suara air semakin terasa jauh di telinganya. Tangannya yang mencengkeram batu di tengah aliran air itu pun melemah. Artunis nyaris kehilangan kesadarannya ketika sebatang kayu terbawa arus ke arah mereka, tepat berada di jalur mereka berada.

"Awas!"

Mata Panglima terbelalak, lalu dengan sigap ia mendekap tubuh Menno di dalam pelukannya, membiarkan kedua tubuh mereka terbawa arus sebelum batang kayu tersebut menghantam mereka. Menno tidak melawan. Jika kedua lengan Panglima melingkar di bahunya, lengan Menno berada di area perut Panglima, melindungi luka tusukan Panglima agar tidak terbentur benda keras saat mereka dihempas air ke sana ke mari. 

Menno panik melihat sekitar, mencari tempat berpegangan, namun tidak ditemukannya. Dengan satu lirikan dia bisa melihat bahwa mata Panglima sudah terpejam - pria itu tidak sadarkan diri. Rasa takut menjalari tubuh Menno ketika ia sadar bahwa sungai di hadapannya seolah terputus dan air yang membawanya jatuh bebas dari ketinggian. 

Debur air membuat telinga Menno tuli saat mereka berdua jatuh bebas dari puncak sebuah air terjun.

***

Menno sama sekali tidak tahu di mana mereka berdua berada. Dia sudah cukup bersyukur menemukan tempat beristirahat malam ini.

Tidak, malam ini dia tidak punya waktu beristirahat.

Tubuh Menno rasanya sudah remuk setelah memanggul Panglima di bahunya, berjalan dari tepian danau ke gua tempat mereka berada sekarang. Saat ini tangannya yang gementaran berupaya membuat api menyala untuk menghangatkan mereka berdua, sekaligus untuk mengobati luka panah Panglima.

Dia menoleh ke belakang, ke tempat Panglima dibaringkan. Wajahnya pucat pasi dan bibirnya kebiruan akibat kedinginan. Pakaian hitam Panglima membuat banyaknya darah yang keluar tidak kentara, tapi melihat dari kondisinya sekarang, Menno benar-benar khawatir.

Menno menghangatkan tangannya sebentar di dekat api, lalu memindahkan tubuh Panglima sehingga lebih dekat ke sumber panas. Menno bergumam pada dirinya sendiri, bersyukur bahwa tubuh Panglima tidak seberat kelihatannya, dan bahwa sekalipun dia harus menanggalkan semua baju pelindung Panglima, pada akhirnya dia bisa membawa Panglima ke gua ini.

Menno menyambar buntalannya dan mengeluarkan obat-obatan serta peralatan medis sederhana yang dia bawa di sana, lalu meletakkannya di sisi Panglima. Dengan tangan masih gemetaran karena kedinginan ia membuka topeng emas Panglima, lalu meletakkannya sembarang. Dengan ibu jari dan telunjuknya dia membuka kelopak mata Panglima, lalu menggenggam pergelangan tangannya.

Artunis (Artunis #1)Where stories live. Discover now