Bagian 155 (Ke Jakarta Aku Kan Kembali)

745 129 52
                                    

.
.

Istirahatlah dari kata 'andaikata,' 'andaikan,' 'jika aku begitu, pasti tak akan jadi begini.'

Lapangkan hati tuk menerima ketenangan dari-Nya.

Berdamailah dengan masa lalu.

.
.

***

Dua hari kemudian ...

Tuk! Tuk! Tuk!
Ujung jari telunjuk Dana mengetuk-ngetuk gagang kursi di ruang tengah.

"Uurrghh!! Berapa lama lagi kita harus menunggu dia?? Ini sudah hampir jam 10!"

Bastian dan dua orang pelayan di ruangan itu tampak tegang. Berada seruangan dengan orang darah tinggi-an dan uring-uringan, membuat urat syaraf mereka mau tak mau ikut merasakan tekanan.

"Mereka masih di jalan, Tuan Besar. Perjalanan cukup jauh. Tuan Muda bilang, mereka singgah di beberapa tempat untuk istirahat."

Dana menepuk keningnya dan mengusap wajah.
"Anak itu ... pergi bikin kesal, mau pulang pun bikin kesal!"

"S-sabar, Tuan," ucap kepala pelayannya dengan hati-hati. Kuatir Dana kumat darah tingginya.

Pria paruh baya itu menarik napas panjang dan menghembuskannya perlahan.

Sabar ... sabar. Yang penting dia sudah dapat calon istri. Lainnya tidak penting. Aku harus menyambut bocah itu dengan senyuman. Terutama di depan calon menantuku, aku tidak boleh menampakkan emosi.

Karena lamanya penantian, Dana telah sampai pada titik di mana dia sungguh tak perduli dengan latar belakang calon istri Yoga. Sekali pun calon istri Yoga adalah anak seorang pembunuh berdarah dingin, Dana akan menerimanya! Selama dia seorang wanita sungguhan!

Alat komunikasi mungil yang tersemat di tepi kerah jas Bastian berbunyi.

Pak Bastian, Tuan Muda Yoga sudah sampai di gerbang depan.

Pria tua itu menekan sebuah tombol sebelum menjawab, "Baik. Terima kasih."

Dana tampak antusias. "Mereka sudah datang??"

"Benar Tuan. Baru di gerbang depan. Tiga menit lagi mungkin baru akan tiba di lobi."

Dia segera bangkit dari kursi empuknya. "Ayo kita sambut mereka!!"

***

Perjalanan panjang membuat Yoga kelelahan. Padahal dia sama sekali tidak menyetir. Dia tertidur lelap di bangku belakang.

Riko keluar dari pintu depan mobil dan membuka pintu belakang. Tangannya menggoyangkan pelan pundak Yoga. "Tuan Muda, Tuan ... kita sudah sampai."

Kelopak matanya perlahan terbuka. Dia mengucek mata dan menutup mulut saat menguap. "Sudah sampai? Oh oke. Terima kasih Riko, Patar."

"Sama-sama Tuan Muda," jawab mereka nyaris bersamaan.

"Oleh-oleh biar besok pagi saja kita pindah ke mobil saya sebelum berangkat ke kantor. Tolong bawakan koper dan kandang Erika ke kamar saya. Setelah parkir mobil, kalian bisa pulang untuk istirahat."

"Siap Tuan."

Patar turun dari kursi kemudi dan mengambil tas koper. Sementara Riko mengangkat kandang kucing bernama Erika dengan hati-hati.

Yoga menapakkan kaki kanannya di pelataran lobi. Lalu kaki kirinya. Saat menegakkan pandangan, rahangnya terbuka otomatis.

Pemandangan di depan matanya sungguh fantastis! Di kiri kanan jalur menuju pintu masuk, penuh dengan bunga mawar merah. Para pelayan, juru masak, supir, berdiri berjejer di kiri kanan, mengapit jalur masuk. Semuanya tampak luar biasa rapi. Ayahnya berdiri di tengah pintu masuk. Sedang membentangkan tangan seraya mengucap salam, "SELAMAT DATANG WAHAI ANAKKU!!"

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang