Bagian 37 (Catatan Farhan)

1.3K 69 0
                                    

.

.

Besok kita berangkat ke Bandung. Kamu masih gak mau bilang kalo kamu naksir sama dia?

.

.

***

Sepuluh tahun lalu ...

Keputusanku sudah bulat untuk kuliah di jurusan desain. Sesuatu yang sebenarnya ditentang ayahku. Karena ayah lebih suka kalau aku meneruskan usaha pabrik kertas miliknya. Aku berusaha sebaik mungkin menjaga hubungan kami. Setelah akhirnya berhasil membujuk ayah, aku pun berangkat ke Bandung. Hidup sendirian di sana.

Walaupun aku menyukai dunia desain, menyesuaikan diri sama sekali tidak mudah buatku. Orang-orang yang berkecimpung di dunia seni, punya kecenderungan memiliki jiwa yang ingin bebas dan tak terikat pada nilai. Sedangkan sejak SMP, walaupun aku bersekolah di sekolah umum, aku selalu ikut dalam keanggotaan Rohis (Rohani Islam), tidak pernah melewatkan pesantren kilat, dan sering hadir di majelis pengkajian Islam.

Tidak mudah buatku untuk berbaur dengan mereka. Sebagai contoh sederhana, saat aku menolak dengan halus ajakan untuk bersalaman dengan perempuan, mereka selalu memberiku tatapan aneh. Tapi karena kecintaanku pada dunia seni, aku bertekad akan berusaha lulus dengan baik. Jadi aku menerima saja semua respon mereka terhadap 'keanehan'ku. Akhirnya aku mulai bisa berteman dengan sebagian dari mereka, setelah setahun kuliah. Mereka sebenarnya orang-orang baik. Hanya saja mereka berbeda pandangan denganku, dalam hal nilai kesopanan dan pergaulan dengan lawan jenis.

Selama dua tahun pertama kuliah, ada empat perempuan yang mengajakku pacaran. Aku agak kaget sebenarnya. Karena kupikir zaman ternyata sudah bergulir lebih cepat dari yang kubayangkan. Perempuan zaman sekarang ternyata sangat berani mengutarakan perasaannya duluan. Aku bilang pada mereka kalau aku tidak pacaran. Mereka semua heran mendengarnya.

Aku selalu berharap Tuhan akan menjodohkanku dengan seorang perempuan sholehah, dengan aurat tertutup, berhijab syar'i panjang. Perempuan dengan ilmu agama yang mumpuni. Yang nantinya insyaallah akan menurunkan ilmunya pada keturunan kami. Dan Tuhan ternyata memang memasangkanku dengan perempuan yang sangat baik, walaupun dia belum berhijab seperti yang aku harapkan. Tapi aku berharap suatu saat dia akan menutup auratnya, dengan keinginannya sendiri.

Aku bertemu Erika di tahun ketiga kuliah. Saat itu aku sedang bersiap untuk pameran grafis di sebuah kampus di Jakarta. Ya, aku bertemu Erika justru di jakarta, bukan di Bandung.

Siang itu aku mengangkat sebuah kardus berisi gulungan print out gambar, dan beberapa lukisan yang sudah dipigura. Aku membawanya dengan hati-hati, tapi seorang laki-laki tak sengaja menabrakku dari belakang. Beberapa gulungan jatuh ke pelataran kampus. Aku melihat laki-laki itu meminta maaf dengan cara yang unik. Dia menyatukan kedua tangannya di kepala, tapi terus berlari sambil mundur. "MAAF MAAF, BRO! Aku buru-buru banget. Sori banget, ya!!" teriaknya seraya kabur menjauh.

Aku terdiam. Dia panggil aku apa? Bro? Begitukah sikapmu pada saudaramu sendiri? batinku menggeleng.

Aku meletakkan kardus di bawah dan mulai memunguti gulungan kertas. Jemari lentik berkulit putih mengejutkanku. Tangan itu ikut memunguti gulungan kertas. Kepalaku mendongak, dan menyadari kalau parasnya membuatku lebih terkejut. Perempuan ini sangat cantik. Perempuan cantik ada saja di berbagai tempat, tapi yang ini entah kenapa terlihat berbeda di mataku.

Perempuan itu menyerahkan dua gulungan kertas padaku. "Oh harusnya ditaruh di kardus, ya?" tanya mahasiswi itu, baru saja dia akan berjalan ke arah kardus. "Eh ... gak usah. Biar aku yang taruh di kardus. Makasih, ya," kataku.

Dia tersenyum manis dan sontak hatiku ribut bukan main.

"Erika!!" Seorang temannya melambaikan tangan ke arahnya.

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang