Bagian 57 (Menyambung Tali Yang Terputus)

1.1K 64 18
                                    

.

.

Orang-orang saleh itu, punya tingkat kesadaran yang sangat tinggi tentang kematian.

Hingga di setiap tarikan napas mereka, mereka selalu dalam keraguan, apakah mereka akan sanggup menarik satu napas lagi setelahnya?

.

.

***

Sejak tadi Yunan diam saja di dalam mobil. Fahan melirik sekejap ke arahnya. "Yunan, kamu mau denger radio atau musik apa gitu?" tanya Farhan. Mereka baru saja pulang dari kunjungan ke rumah lama Yunan. Persis sebelum berpamitan, Farhan mengamati  Yunan yang nampak berat hati meninggalkan Arisa.

Yunan yang tadinya sedang melihat ke jalanan, menolehkan wajahnya. "Oh? Musik? Maksudnya, kayak qasidah atau selawat?" 

Farhan agak kaget mendengar tebakan itu. Dia segera menyadari pertanyaan yang diajukannya adalah pertanyaan bodoh. Bagaimana dia bisa lupa kalau Yunan sejak kecil tidak pernah mendengar radio dan menonton televisi ? Bahkan di rumah barunya pun, Yunan lebih memilih mengunci diri di kamar ketimbang nonton televisi.

"Eh ... hmm. Enggak juga, sih. Agak ... beda. Eh beda banget, ding. Hihi," jawab Farhan gagal menahan rasa geli setelah mendengar respon Yunan. Betapa anak angkatnya ini SANGAT polos. Jika diibaratkan dengan kertas, Yunan adalah sebuah kertas putih kosong yang masih tersegel dan belum pernah ditorehkan coretan apapun.

"Dulu di masjid, suka nyanyi qasidah sih, bareng temen-temenku. Diajarin pak ustaz," jelas Yunan.

Farhan tersenyum. "Ntar deh ayah cari lagu qasidah sama selawat, ya. Sekarang, dari pada sepi banget, kita ngobrol aja yuk."

"Boleh, Yah. Mau ngobrol apa? Terserah ayah aja."

"Kalo gitu, ayah boleh nanya gak?"

Yunan mengangguk tanda setuju.

"Temenmu yang namanya Arisa itu, dia keliatannya spesial buat kamu ya?"

Mata Yunan melotot dan segera salah tingkah karena pertanyaan itu. "Emm ... spesial itu maksudnya gimana Yah?"

"Yaa maksudnya spesial itu, beda dari yang lain."

"Ehm ... ya dia memang beda sih, Yah. Soalnya, dia satu-satunya temenku yang perempuan. Lainnya laki-laki semua."

"Ooh," sahut Farhan. Sunyi sesaat, sebelum Farhan melanjutkan pertanyaannya. "Cuma itu aja? Yakin nggak ada alasan lainnya?"

Wajah Yunan merah padam karena malu. "Ayah, apaan sih? Aku gak ngerti maksud Ayah apa."

Farhan tergelak. "HA HA!! Gak ngerti, tapi kok mukamu malu-malu gitu??"

Yunan membuang muka ke arah jalanan. Penasaran, memangnya seperti apa ekspresinya sekarang? Tapi dia terlalu malu untuk bercermin di kaca spion.

Tawa Farhan reda. "Yunan Yunan. Kamu masih kecil. Hidupmu masih panjang, Yunan."

Kalimat itu membuat Yunan terdiam menundukkan wajahnya. "Dulu almarhumah Ibuku selalu mengingatkanku akan kematian," kata Yunan tiba-tiba.

Farhan melirik sesaat ke sampingnya, dan dilihatnya anak angkatnya itu memasang raut wajah serius. "Kematian?" sahut Farhan.

Yunan mengangguk. "Iya. Ada sebuah kitab yang pernah dikisahkan Ibuku. Kitab itu berisi kisah-kisah para sholihin. Orang-orang saleh di masa lalu. Apa yang dikisahkan Ibu dari kitab itu, sangat berkesan buatku.

Ibu bilang, orang-orang saleh itu, punya tingkat kesadaran yang sangat tinggi tentang kematian. Hingga di setiap tarikan napas mereka, mereka selalu dalam keraguan, apakah mereka akan sanggup menarik satu napas lagi setelahnya?"

ANXI (SEDANG REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang