Bagian 9 (Catatan Erika)

1.6K 85 1
                                    

.

.

"Apa kamu serius ingin menciumnya di sini, Tuan Muda Yoga?"

.

.

***

 Tujuh bulan sejak aku dan Yoga bersama ...

Yoga tiba-tiba punya ide makan siang bersamaku, Gito, Esti dan Ratih. Kupikir itu bagus. Dia bukan hanya ingin dekat denganku, tapi juga berusaha dekat dengan orang tua dan teman-temanku. Aku pun sudah tidak canggung mengobrol dengan Gito. Seperti kesan pertamaku terhadapnya, Gito adalah anak yang santun, ramah dan menyenangkan. Aku mengerti kenapa Yoga memperlakukan dia istimewa, dibanding teman-temannya yang lain.

Aku tidak tahu bagaimana Yoga bisa booking meja favorit ini. Ada beberapa meja yang posisinya di bawah pohon-pohon rindang, di luar area kantin yang beratap. Meja-meja spesial ini biasanya selalu menjadi yang pertama kali penuh. Dan Yoga adalah yang mengatur supaya kami bisa duduk di sini. Ketika aku bertanya "Kok bisa?", jawabannya seperti biasa. "Bisa dong. Apa sih yang aku gak bisa?" Cits. Si sombong itu.

Kami sudah selesai makan. Esti dan Ratih buru-buru pamit karena ada tugas yang belum mereka selesaikan di kelas. Sementara aku, Yoga dan Gito masih betah duduk di meja favorit ini. Gito berdiri dari kursinya. "Aku ke kantin dulu, ya. Mau pesen es buah." Kami mengangguk.

Yoga meluruskan lengannya di atas sandaran kursi kayu, melintasi belakang punggungku. Aku menundukkan wajahku. Sejak dua bulan lalu saat kami jalan ke tempat camping, aku merasa semakin menyukai Yoga. Aku lebih memperhatikan hal-hal sekecil apapun pada dirinya. Siang ini dia menguncir rambutnya dengan karet berwarna hitam. Dia membiarkan rambut di bagian depan tetap terurai sedikit. Terlihat keren sekali. Dari tadi aku sudah memergoki banyak anak perempuan melirik ke arahnya. Menyebalkan. Rasanya aku ingin menutup mukanya dengan kandang ayam, supaya perempuan-perempuan itu tidak ada yang bisa melihatnya.

Belakangan aku juga sering punya pikiran-pikiran ajaib setiap kami ada di mobil. Aku sering berpikir, dengan perempuan mana saja dia pernah jalan dengan mobilnya? Berapa jumlah perempuan yang jadi pacarnya sebelum aku? Dan mengingat dia pernah berusaha menciumku, aku mulai berpikir jangan-jangan dia sudah terbiasa melakukan itu dengan pacarnya yang dulu. Memikirkan itu membuatku mual. Aku kesal. Perasaan ini membuatku tidak bisa lagi bersikap biasa di depannya.

"Erika ... Erika," panggil Yoga.

"Eh ... ya?" sahutku setengah sadar.

"Kok kamu ngelamun? Ada apa?" tanya Yoga dengan ekspresi perhatian yang tidak dibuat-buat.

"Enggak ada apa-apa," jawabku.

Yoga seperti tidak percaya dengan jawabanku. Wajahnya didekatkan padaku. "Ada apa, sayang?" desak Yoga.

Mukaku seketika terasa panas. Ini yang kumaksud dengan aku tidak bisa lagi bersikap biasa di depannya. Oh nyebelin!

Aku tidak berani melihat matanya. "Enggak. Aku cuma pengin tau aja. Pacarmu sebelum aku ada berapa ya?" tanyaku.

Yoga terkejut. "Pacarku? Kamu pacar pertamaku," jawabnya tegas.

"EHH?? Serius??" tanyaku syok.

Melihatku tidak percaya, dia agak kesal. "Kalo gak percaya, tanya aja Gito tuh! Dia temanku sejak SD! Payah kamu. Masa lebih percaya Gito dari pada pacarmu sendiri!" misuhnya.

Aku membuang muka. "Habis ... mana kutau! Aku beberapa kali melihatmu jalan bareng anak-anak perempuan itu! Jadi kupikir kamu memang semacam playboy yang paling enggak memacari satu, dua atau tiga orang di antara mereka!"

ANXI (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now