Bagian 48 (Catatan Yunan)

1.2K 63 12
                                    

.

.

"Beribadahlah karena kamu meyakini bahwa Tuhan memang pantas disembah."

.

.

***

Setahun sebelum adopsi.

Tanah merah itu masih nampak gembur. Taburan helai bunga warna-warni berjatuhan ke atasnya. Seseorang dengan tangan mungil menaburinya. Itu adalah tangan milik Arisa, kurasa. Arisa adalah anak tetangga dekat rumah, salah satu sahabat dekatku. Mengingat semua perhatiannya selama ini, mungkin gelar 'sahabat terbaikku' tidak berlebihan jika disematkan untuknya.

Aku masih tertegun melihat batu nisan di ujung gundukan tanah itu. Sebuah nama terukir di sana. GISELA AMINAH. Dan pada nisan di sampingnya, tertulis nama HAMISH DAUD.

Mataku masih sembab. Pertama kali aku menangis adalah saat tetanggaku, Pak Amat, memberitahukan padaku bahwa ibu dan bapakku telah meninggal dunia. Saat itu, Pak Amat berlari ke rumahku dan membuka pintu rumah bahkan tanpa mengetuk lebih dulu.

"YUNAN!!" panggilnya tergesa.

Aku menoleh ke arah pintu. Terheran-heran melihat napasnya tak beraturan.

Begitu melihat wajahku, Pak Amat seperti akan menangis. Dia menghampiriku dan memelukku. Kakinya berlutut supaya dia bisa melihat wajahku saat menjelaskan kejadiannya. Kalimat itu dimulai dengan, "kamu yang sabar ya, Nak. Ini semua takdir Allah."

Lalu sisanya aku kenali sebagai rentetan sebab-akibat. Ibu pernah bilang, tak ada yang pasti di dunia ini, kecuali kematian. Yang membedakan hanya caranya. Sebab dan akibat hanyalah cara takdir berbahasa. Bibirku gemetar, berusaha tidak menangis di depan orang lain, tapi apalah dayaku. Aku hanya seorang anak berusia delapan tahun.

Motor mereka berdua ditabrak oleh truk yang oleng, saat berangkat menuju pasar. Tidak jelas apakah supirnya dalam keadaan mabuk atau sadar. Yang jelas, dia kabur setelah kejadian.

Ramai orang yang mensalatkan mereka berdua. Para tetangga, para pedagang di pasar, Apa Agam (Om Agam) juga hadir jauh-jauh dari Aceh. Wajar, karena bapak adalah saudara laki-laki satu-satunya setelah tragedi tsunami Aceh. Apa Agam hanya datang hingga usai penguburan. Beliau sempat memberikanku amplop berisi uang yang insyaallah cukup untuk biaya makanku sebulan ke depan. Aku terharu, karena bapak pernah cerita bahwa Apa Agam bukanlah orang dengan taraf ekonomi menengah ke atas. Sama seperti kami, beliau juga sering pas-pasan hidupnya.

Do'a-do'a sudah terlantun, orang-orang mengaminkan. Banyak di antara mereka yang menangis. Semasa hidup, bapak dan ibuku selalu berbuat baik pada tetangga. Walau hidup kami susah, di saat melihat orang lain dalam keadaan genting, ibu dan bapak tidak pernah khawatir membantu meringankan beban mereka. Mereka selalu hadir jika diundang. Tak segan membantu tetangga yang sedang punya hajatan. Dan bapak tak pernah absen mengangkat keranda mayat, mengantar jenazah dan mensalatkan tetangga yang meninggal dunia.

Satu per satu pelayat mulai pulang ke rumah masing-masing. Sebelum pulang, mereka berpamitan padaku dan berusaha menguatkanku. Beberapa memelukku. Aku mengangguk dan mengucapkan terima kasih. Kuburan mulai sepi, hingga akhirnya tinggal aku seorang diri.

Mendadak aku merasakan sentuhan bulu halus di kakiku. Refleks mataku melihat ke bawah. "Miaw," ucap hewan itu padaku. Kucing itu sudah agak besar, mungkin usianya setahun. Warnanya putih totol hitam, dan ada lingkaran hitam di salah satu matanya. Membuatnya terlihat mirip sapi. Aku tersenyum dan mengelus kepalanya. Dia duduk di sampingku dengan ekor bergoyang, yang kurasa menandakan dia senang. Aku memang tidak pernah memelihara kucing sebelumnya. Tapi kalau ada kucing liar, kadang kalau ada sisa makanan, aku memberi mereka makan. Karena aku sering memperhatikan mereka, aku mengenali tanda saat kucing merajuk, senang atau marah.

ANXI (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now