Bagian 94 (Suluk)

903 118 38
                                    

.

.

Jika hati tidak diisi dengan zikir (mengingat Tuhan), maka hati akan menjadi gersang seperti tanaman yang mati.

.

.

***

'Arief sudah lama meninggal.'

Sebaris kalimat Ustaz Umar itu disusul keheningan panjang. Suara hujan adalah satu-satunya yang mengisi jeda.

Yoga menundukkan pandangan. Merasa menyesal telah bertanya. Dia sendiri tak yakin kenapa dia menanyakannya. Mungkin karena dia sedikit banyak merasa terharu dengan perhatian Ustaz Umar yang merawatnya seperti anaknya sendiri.

"Narkoba. Arief meninggal karena narkoba. Kami melepasnya sekolah di Jakarta. Saya dan istri saya. Saat itu kami masih menikah." Penjelasan itu dituturkannya sambil memunggungi Yoga. Membereskan bekas kasa dan kapas.

"Saya tumbuh di keluarga yang cukup agamis. Saya menikah saat kuliah. Tapi lingkungan kuliah saat itu, membuat saya meyakini bahwa agama ternyata tidaklah penting. Uang lebih bernilai.

Maka setelah lulus dan bekerja, saya berubah menjadi semacam 'mesin pencetak uang.' Berpikir bahwa banyaknya uang adalah ukuran suksesnya hidup.

Dengan pemikiran itu, saya tak lagi mengerjakan hal-hal kecil yang dulu sangat saya sukai. Seperti berkebun. Di mata saya, kegiatan semacam itu tak ada gunanya. Hanya membuang waktu.

Lalu anak pertama kami lahir. Saya mengarahkannya untuk berpikir sama seperti pemikiran saya. Bahwa uang adalah tujuan hidup. Dan saat kami melepas Arief sekolah di ibukota, kami melepasnya tanpa bekal ilmu agama sedikitpun.

Kami tak curiga saat uang yang kami kirim seringkali habis begitu cepat. Hingga kabar itu datang menghantam keluarga kami. Arief meninggal over dosis. Narkoba. Sebuah pukulan keras, terutama bagi saya sebagai kepala rumah tangga.

Sepeninggal anak kami, hari-hari kami isi dengan pertengkaran dan saling menyalahkan. Kami tidak bisa menerima kenyataan bahwa kami telah gagal sebagai orang tua. Hingga puncaknya, saya mulai ringan tangan padanya. Begitu mudah tersulut emosi. Sebuah tamparan keras yang saya lakukan, dibalasnya dengan surat perpisahan. Kami bercerai.

Dalam suratnya, dia berkata kecewa dengan berubahnya cara pandang saya terhadap hidup. Dia bilang, dia seringkali merindukan saya yang dulu senang merawat tanaman. Dan dia berkata tak suka dengan kegilaan saya terhadap pekerjaan yang seakan tak ada habisnya. Dia dan Arief, seringkali merasa hanya menjadi pelengkap dalam hidup saya.

Usai perceraian itu, saya mulai mempertanyakan kembali pemikiran saya selama ini. Lalu sesuatu terjadi dan merubah saya. Hari itu hari Jum'at. Biasanya saya selalu menghindari salat Jum'at. Tapi hari itu bukanlah hari biasa. Mobil saya mogok persis di depan sebuah bangunan pesantren. Seorang santri lewat di dekat saya dan berkata akan mengantar saya ke bengkel terdekat, tapi nanti setelah salat Jum'at.

Santri itu dengan sopan bertanya apakah saya seorang muslim atau bukan. Dengan malu saya mengaku seorang muslim, walau saya ragu saat itu, apa saya pantas disebut seorang muslim?

Dia mengajak saya salat Jum'at bersama di masjid pesantren. Karena merasa tidak enak dengan santri yang sangat ramah itu, saya ikut salat di masjid mereka.

Yang mengisi ceramah Jum'at saat itu, adalah Syeikh Abdullah. Syeikh berceramah singkat tentang hati yang diibaratkan dengan tanaman. Jika tanaman tidak disirami dengan air, maka lama kelamaan tanaman itu akan mati gersang. Sama halnya dengan hati. Jika hati tidak diisi dengan zikir (mengingat Tuhan), maka hati akan menjadi gersang seperti tanaman yang mati.

ANXI (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now