Bagian 24 (Catatan Yoga)

1.2K 76 6
                                    

.

.

Kenapa aku masih belum bisa mencintai dia?? Apa yang kurang darinya?

Atau seharusnya aku bertanya : Apa yang kurang dariku?

.

.

***

Seperti kesan pertama yang kudapat, Tania adalah perempuan yang paling feminin yang pernah kutemui. Berbeda dengan Erika yang sebenarnya agak sedikit urakan dan kocak, Tania sangat pendiam, pemalu, dan sama sekali tidak pernah melontarkan lelucon. Dia sangat menjaga etika saat makan dan norma kesopanan semacam itu bahkan ke hal-hal kecil. Saat tertawa, dia akan menutup bibirnya dengan anggun. Sangat berbeda dengan Erika yang kalau sedang makan es krim atau yoghurt yang kuberikan, begitu semangat hingga tak sadar kalau pipinya belepotan. Erika juga sering tertawa lepas.

Aku sebenarnya tidak mau membandingkan mereka. Tapi sulit untuk tidak membandingkan. Karena referensiku cuma mereka berdua.

Aku teringat pada pada pesan Gito agar aku berusaha mengontrol emosiku. Tapi rupanya aku belum sanggup melakukan itu. Kebiasaan buruk yang begitu melekat pada diriku sejak kecil karena aku meniru seseorang di rumah (siapa lagi kalau bukan ayahku), ternyata belum juga bisa hilang.

Pertama kali aku lepas kendali saat aku jalan bersama Tania, adalah saat aku bertengkar dengan seorang penjaga loket tiket bioskop. Pria itu salah paham dengan nomor bangku yang kupilih, dan dia memilih nomor yang berbeda. Walaupun pada akhirnya dia menggantinya sesuai mauku, tapi aku sudah terlanjur 'mengamuk' padanya. Rasanya saat itu aku seperti ingin memecahkan kaca di loketnya. Pria itu pucat ketakutan. Tania berusaha menenangkanku. Dia terlihat terkejut dengan sikapku saat itu. Tapi dia tidak bilang apa-apa.

Kejadian kedua adalah saat aku nyaris menghajar supir angkot yang menyerempet ujung kaca spion mobilku. Aku marah besar. Mengejar angkot sialan itu, memaksanya berhenti. Aku turun dari mobil dan menghampirinya. Pintu mobil angkot itu sudah kubuka dan aku hampir menyeretnya ke jalanan. Tania dan beberapa penumpang angkot berusaha melerai kami. Aku masih ingat Tania menggenggam lenganku sambil gemetar. Dia ketakutan. Tapi lagi-lagi, dia hanya diam. Tidak seperti Erika, tak pernah sekalipun dia menasehatiku, atau mengkritikku.

Dan tidak seperti Erika, Tania menurut padaku 100% tanpa pernah membantah. Aku berpikir, apa mungkin dia adalah jodohku? Karena dia bersedia menerima semua sifat burukku. Apa ini berarti dia akan jadi istri yang sempurna untukku kelak? Walaupun tidak seperti saat dengan Erika, aku tidak merasakan pertanda apapun saat bersama Tania. Tidak ada firasat. Tidak ada apapun. Semuanya berjalan begitu saja seperti dadu yang digulirkan.

Tanpa terasa, aku sudah pacaran dengannya hampir dua tahun. Kurasa, karena dia menerimaku apa adanya, dia sanggup bertahan dengan orang gila sepertiku.

Bersama Tania, aku merasakan ciuman pertamaku. Awalnya, jujur saja, di tahun pertama, aku tidak terpikir untuk menciumnya. Padahal terhadap perempuan secantik dia, itu hal yang lumrah kalau laki-laki berpikir begitu. Kemudian tiba-tiba saja aku teringat, dulu saat aku bersama Erika, aku selalu berusaha untuk mencium bibirnya, dan selalu gagal. Percobaan pertama, dia menolakku. Aku tidak menyerah dan mencobanya terus, hingga aku melihat di sorot matanya, pertahanannya mulai melemah. Kurasa itu karena lama kelamaan perasaan cintanya semakin besar padaku. Tapi situasinya selalu tidak memungkinkan untuk kesampaian menciumnya. Akhirnya hingga kami putus, tak sekalipun aku mencium Erika.

Dan sekarang ...

Malam itu aku dan Tania ada di dalam mobil, di depan gerbang rumahnya. Aku mengantarnya pulang setelah kami jalan bareng di akhir minggu ini.

"Kamu enggak mampir?" tanya Tania padaku sambil tersenyum malu.

"Enggak usah, lah. Sudah malam," jawabku. Padahal itu cuma karena aku merasa tidak nyaman kalau diajak ngobrol orang tua Tania. Aku juga tidak mengerti kenapa. Rasanya ada yang tidak pas ketika aku ada di rumahnya. Terutama kalau mereka 'nyerempet-nyerempet' bicara soal rencana pernikahan. Tiba-tiba aku jadi gelagapan. Padahal biasanya aku selalu bisa menjaga wibawaku bahkan di hadapan orang yang lebih tua sekalipun.

ANXI (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now