Types of Kisses: Tender

10K 893 96
                                    

Satria

Waktu adalah barang mewah bagi gue dan Kinar.

Senin sampai Jumat, di antara kesibukan organisasi yang mencekik, tugas-tugas yang tidak bisa diajak kompromi, dan perbedaan jadwal kelas yang cukup signifikan, kami berdua berlatih menjadi kriminal dengan tindak pencurian sebagai aktivitas utama. Yang dicuri? Tidak lain dan tidak bukan adalah ceceran detik-detik yang hanya bisa dikumpulkan saat matahari sudah tukeran shift dengan bulan dan bintang.

Seperti malam ini. Bagi banyak orang, penghujung hari Jumat adalah waktu yang ditunggu-tunggu karena setelahnya mereka bisa menikmati indahnya akhir pekan tanpa diganggu rutinitas yang biasanya memenuhi lima hari lainnya. Sayang, gue dan Kinar bukan bagian dari orang-orang itu. Hari Jumat kami kali ini cukup hectic akibat gue yang harus menghadiri rapat pleno dengan anggota gue di BEM dan Kinar yang harus menghabiskan sore hingga malam harinya dengan latihan KTF.

"Nggak balik, Pak?" Janu menepuk bahu gue setelah kami para tetua menyelesaikan diskusi tambahan selepas anggota yang lain cabut dari ruangan ini.

"Nunggu Kinar dulu gue. Balik lu, Nu?" gue bertanya balik padanya.

Janu mengangguk dan membetulkan posisi ranselnya di bahu. "Yoi. Ngantuk banget gue gila, mana gue belom ngelarin review jurnal gue lagi" ia berdecak pelan kemudian menggeleng. "Duluan ya, Sat"

"Yo, tiati" gue melambai pada Janu dan wakil gue itu pun berlalu menuju parkiran.

Jam di tangan gue menunjukkan pukul delapan malam, dan meski tadi gue telah dihantam 2 presentasi serta sebuah rapat pleno, entah mengapa stamina gue masih tersisa banyak malam ini. Memutuskan untuk menunggu Kinar di Takor, gue pun melangkah turun menuju meja tempat biasa gue duduk.

"Bucil, kapal api ya satu ya" gue berujar pada penjaga konter minuman kesayangan seluruh warga FISIP raya sebelum meletakkan tubuh gue di atas bangku kayu dan melepas tas.

"Siap, Mas Sat!"

Aku di takor ya ki kayak biasa. Begitu gue mengirimkan pesan pada Kinar.

Biasanya, jam segini di pojok luar sana gue masih bisa menemukan raut wajah familiar tengah sibuk di depan laptop atau gitaran sambil merokok dan tertawa-tawa. Bram dan kawan-kawan Kriminologinya kerap gue temukan nongkrong di spot kebanggaan mereka itu hingga lewat jam kuliah mahasiswa lainnya. Tapi malam ini, yang gue liat di sana hanya beberapa raut wajah yang tidak begitu gue hafal—sesuatu yang membuat gue memutuskan untuk tetap di tempat dan nggak berpindah menghampiri mereka.

Oke aku kesana, udah selesai nih latihannya.

Pesan dari Kinar yang baru masuk ke ponsel gue membuat gue mengangkat alis gue. Tumben jam segini udah selesai. Biasanya kalau dia latihan bisa sampai jam sembilan, atau pada waktu-waktu tertentu (seperti jelang Pagelaran kemarin misalkan) bisa sampai tengah malam.

"Mas Sat, ini kopinya"

Aroma kopi sachet dan suara Bucil membuat gue menengadah sedikit. Setelah menyerahkan selembar uang lima ribu dan berterimakasih, gue pun meniupi gelas berisi cairan hitam tersebut dan menyeruputnya pelan-pelan. Panas soalnya.

Sekarang masih jam delapan, kira-kira Kinar mau nggak ya kalau gue ajak nonton dulu? Entah, gue tiba-tiba aja kepikiran untuk nggak langsung pulang malam ini. Lagian, besok juga sudah hari Sabtu, nggak ada salahnya 'kan refreshing sedikit? Gue penasaran dengan salah satu film superhero yang kemarin baru aja diperbincangkan dengan hebohnya oleh Jeff dan Wira. Apa ajak Kinar nonton itu aja ya?

Sekitar 10 menit gue menikmati kopi seorang diri sampai akhirnya Kinar datang menghampiri dengan rambut yang dicepol rapi di belakang kepalanya dan tas jinjing besar berisi perlengkapan tari. Gue tersenyum kecil.

#PacarAnakBandWhere stories live. Discover now