Fe dan Bram #1

37.1K 2.8K 302
                                    

"Bucil teh tarik satu!"

Kantin sore ini ramai. Ya iya lah, sekarang jam orang-orang bubaran kelas jelas aja ramai. Lagipula, ini kantin juga nyaris nggak pernah sepi kecuali lagi libur. Kalian mau kesini malem-malem juga pasti masih ada orang, apalagi kalau Jumat. Ini kantin bisa berubah jadi lounge dadakan yang dipenuhi dengan live music, asap rokok, dan plastik-plastik berisi minuman yang aku gak perlu jelasin lah ya itu apa.

"Bram" aku memanggil cowok ber-flanel coklat di hadapanku. Matanya serius menatap layar laptop yang sisi belakangnya dilapisi stiker berbagai rupa; mulai dari stiker himpunan, BEM, kepanitiaan, sampai stiker band-band favoritnya dia yang aku gak hapal-hapal juga sampai sekarang.

Kenalin, Yudhistira Bramantyo, 21 tahun, jarang keramas, suka main bass. Status: partner-nya Fe. Pacar kalau kata orang-orang sih, tapi aku lebih suka menyebut dia partner. Lebih seru aja.

"Bram!"

Yang dipanggil baru nengok saat aku menaikkan nadaku satu oktaf. Dia mencopot headsetnya dan menatapku bingung. "Manggil, Fe?"

"Headset copot dulu makanya. Gue dateng tadi pasti lo juga gak nyadar kan" aku menatapnya sinis. Nyebelinnya nggak ilang-ilang emang ini anak.

Bram lalu nyengir lebar. "Deuilah ngambek" dia mengulurkan tangannya untuk mencolek daguku. "Udahan kelasnya? Tumben?"

Aku mengangguk. Ya, tumben. Karena sekarang hari Rabu, dan setiap hari Rabu aku harus ketemu Mbak Arni dalam kelas Kesehatan Jiwa Berbasis Komunitas. Mbak Arni ini sebenarnya dosen yang menyenangkan, lulusan Chicago School of Social Work, udah S3 di usia yang muda, dan asyik banget buat diajak diskusi di luar kelas. Tapi satu, dia terlalu hobi ngajar. Saking hobinya kelas yang harusnya cuma 3 sks kalau sama dia rasanya bisa kayak 6 sks langsung dalam satu hari.

Amsyong.

"Mbak Arni tadi bilang sih dia mau ada urusan abis kelas, jadi kelasnya Alhamdulillah selesai pada waktu yang semestinya" ujarku, "Lo ngapain daritadi di sini? Nugas? Yang lain mana?"

Nggak lama setelah berondongan pertanyaan itu keluar, Bucil, ibu kantin bertubuh kecil (hence the name, Bucil) datang mengantarkan segelas teh tarik dingin dengan es yang banyak. Pesananku.

"Bucil nih saya bayar teh tarik yang tadi" Bram mengeluarkan selembar 20 ribuan dari saku flanelnya dan menyerahkannya kepada Bucil. "Sekalian sama punya dia ya" lanjutnya sambil menggestur kearahku yang lagi menyedot satu-satunya minuman manis yang aku suka di dunia ini.

Yeah, aku gak suka minum minuman manis atau minuman ber-rasa secara umum. Papa ada diabetes, jadi dari kecil semua orang di rumah dibiasain mengkonsumsi segala hal yang bebas gula, termasuk minuman. Air putih biasanya jadi pilihan utama, makanya sampai sekarang kebawa aku jadi nggak bisa, dan nggak begitu menggemari minuman apapun itu yang ada rasanya. Kecuali teh tarik.

Dan tebak apa yang bikin aku suka dengan teh tarik?

Benar sekali saudara-saudara, tidak lain dan tidak bukan adalah Yudhistira Bramantyo. Bram suka banget teh tarik. Mau itu yang asli beneran ditarik atau yang bubuk sachetan, dia kalau kemana-mana minuman yang pertama dicari pasti teh tarik. Katanya teh tarik itu minuman para dewa (biarin aja dia emang suka gitu anaknya), dan aku yang udah kelamaan main sama dia ini pun akhirnya ketularan kesukaannya pada varian teh yang satu ini.

"Tadi lo nanya apa? Oh, gue ngapain ya di sini? Nungguin lo lah. Ngapain lagi?" ujarnya lalu menutup layar laptopnya setengah, sesaat setelah Bucil berlalu pergi. "Satria, Dodi, sama Wira udah jalan tadi. Jeff masih bimbingan" Bram meraih ponselnya yang lagi di-charge di colokan dekat meja kami untuk membaca pesan-pesan yang masuk ke sana.

#PacarAnakBandTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon