Bonus Chapter - Dodi dan Alisha: An Origin Story

6.4K 801 30
                                    

"Kapan pertama kali lo sadar kalau lo sayang sama Alisha?"

Gue lupa siapa yang pernah menanyakan ini ke gue waktu itu. Bang Bram? Bang Jeff? Atau Bang Wira di salah satu sesi curcolnya setelah putus sama Kak Vidia? Gue nggak bisa memastikan, tapi yang jelas, satu pertanyaan itu kembali muncul di kepala gue siang ini.

Gue tengah berada di dalam kamar gue dengan Alisha yang tengah tidur siang dengan nyamannya di sisi gue. Kedua matanya terpejam erat sementara dadanya naik-turun dalam ritme yang stabil, menandakan ia telah masuk ke alam mimpi sejak tadi.

Jangan suudzon dulu, gue dan Alisha sering kok melakukan ini, menumpang tidur siang di kamar masing-masing. Biasanya sih gue yang menumpang di kamarnya, karena harus gue akui kamar Alisha memiliki level kenyamanan yang jauh di atas kamar gue. Gue sering berkata padanya bahwa kamar dia kurang lebih seperti tipe-tipe kamar tidur yang ada di The Sims. Kasurnya cukup luas untuk berdua, dindingnya dihiasi wallpaper bernuansa pink dengan pajangan berupa lampu kelip-kelip dan foto-foto polaroid yang tertempel di atasnya. Lantainya berlapis karpet dan dihiasi koleksi boneka-bonekanya yang entah kenapa nggak terlihat lusuh sama sekali meski gue tahu Alisha sudah memiliki boneka-boneka itu sejak gue dan dia masih sama-sama belajar jalan.

Ya, mungkin kalian semua udah tau kalau gue dan Alisha memang berbagi masa kecil bersama. Alisha dulu adalah gadis kecil yang kelewat manja dan cengeng sampai-sampai gue kadang gemas sendiri kalau mengajak dia main bersama anak-anak komplek. Kalau dibilang ini karena dia adalah anak bungsu, gue sendiri pun anak bungsu, tapi kayaknya gue nggak semudah itu mewek bahkan ketika gue kecil.

Dulu, Alisha hampir selalu menangis setiap gue meninggalkannya sedikit saja di depan saat kami lagi bersepeda. Daripada repot menghadapi dia yang sesenggukan, jadilah gue dan Alisha hampir selalu jadi yang paling belakang setiap kali kami bersepeda rame-rame keliling komplek bersama anak-anak yang lain.

Lanjut ke masa sekolah, entah mengapa orangtua gue dan Alisha memutuskan bahwa memasukkan kami ke satu sekolah yang sama adalah ide yang brilian. Mulai dari SD, SMP, hingga SMA, gue dan Alisha nyaris nggak pernah terpisahkan. Kami memang nggak selalu berada di kelas yang sama, tapi setiap kali kami sekelas, hampir dipastikan kami juga menjadi teman sebangku. Kayaknya, ini juga deh yang memupuk ikatan emosional antara gue dan dia.

Gue ingat, SD kelas 3 adalah masa di mana gue mulai memiliki insting untuk melindungi dan membelanya dari gerombolan anak-anak nakal yang kerap menjahilinya.

Ada suatu hari di mana Alisha pulang sekolah dengan mata sembab karena salah satu anak nakal di kelasnya nggak henti-henti menarik rambut kepangnya sehingga ikatannya hancur berantakan. Besoknya, gue pertama kali merasakan sakitnya ditonjok di hidung dan puasnya menonjok balik wajah seorang anak laki-laki dengan gigi menghitam akibat kebanyakan makan permen.

Gue berumur 8 tahun saat gue melalui perkelahian pertama gue. Demi Alisha.

Memasuki masa remaja, gue mulai sadar ada suatu perasaan baru yang menelusup tiap kali gue dan Alisha bersama. Ini lebih dari sekedar insting melindungi dan membela yang hadir tiap kali Alisha diganggu oleh anak-anak nakal waktu kami SD dulu. Ada perasaan lain yang gue rasakan, seperti jantung yang berdebar kencang setiap Alisha memegang tangan gue, atau memeluk pinggang gue saat berkendara di atas motor pulang sekolah, atau saat dia menyandarkan kepalanya di bahu gue ketika kami lagi nonton film.

Perasaan ini asing bagi gue waktu itu. Berbeda dengan Alisha yang sering bolak-balik cerita bahwa dia naksir cowok—mulai dari mas Abi, tetangga kami, sampai Kevin si playboy bajingan di SMA kami—gue nggak pernah sekalipun merasakan yang namanya naksir, apalagi jatuh cinta.

Lagian, naksir itu apa? Kalau sekedar merasa deg-degan di dekat orang yang kita suka, atau nyaman saat ia berada di samping kita, gue selalu merasakan itu dengan Alisha, dan cuma Alisha yang membuat gue merasakan itu. Seingat gue, nggak pernah ada cewek lain yang membuat gue merasakan nyaman seperti saat gue bersama Alisha.

(Oke mungkin Mamah gue, tapi itu 'kan beda konteks)

Dengan Alisha, gue merasa nggak perlu berusaha terlalu keras dalam setiap hal yang gue lakukan. Dodi adalah sebenar-benarnya Dodi ketika bersama Alisha. Alisha merupakan satu-satunya orang yang nggak pernah bikin kuping gue lelah saat mendengarkan ceritanya, Alisha juga nggak pernah membuat gue merasa gue harus capek-capek mencari topik obrolan tiap kali kami tengah bersama, Alisha pun nggak menjadikan diamnya gue di sela-sela pembicaraan sebagai sebuah masalah besar—kami tetap merasa nyaman berada di sisi satu sama lain meski nggak ada obrolan yang terjadi.

Tapi di samping itu semua, Alisha juga membuat gue merasakan sebuah perasaan lain yang sialnya nggak enak banget untuk dirasakan; cemburu.

Pertama kali gue menyadari perasaan yang satu ini, adalah ketika Alisha datang ke kamar gue suatu hari setelah pulang sekolah dan bercerita bahwa seorang cowok tengah mendekatinya. Tebak siapa? Ya benar, si Kevin yang sudah gue sebutkan di atas tadi. Kalau kalian mengetahui cerita lengkapnya, kalian pasti bakal ngerti kenapa gue menambahkan gelar playboy bajingan di belakang namanya.

Ya intinya, si Kevin-Kevin ini dengan brengseknya menjadikan Alisha bahan taruhan dan mematahkan hati Alisha saat ia telah dengan tulus memberikan hati itu kepadanya.

Gue berumur 17 tahun saat gue melalui perkelahian kedua gue. Lagi-lagi demi Alisha.

Wajah gue yang biru-biru, dan omelan berentet dari guru BK serta Mamah dan Papah akibat ulah gue ini, kayak nggak ada apa-apanya dibanding perasaan puas yang gue rasakan karena telah memberikan pelajaran setimpal pada si playboy atas apa yang dilakukannya terhadap Alisha.

Jadi kalau kita kembali ke pertanyaan pertama, "Kapan gue pertama kali sadar kalau gue sayang sama Alisha?" jawabannya mungkin adalah saat itu; saat Alisha membuat gue merasakan cemburu untuk yang pertama kalinya. Saat ia membuat hati gue terbakar ketika ia menyebut nama cowok lain dengan ekspresi penuh angan. Saat ia menggores hati gue ketika ia menggandeng tangan cowok itu dengan mesra sepulang sekolah beberapa hari kemudian. Saat ia membuat gue merasa marah dan kecewa ketika melihatnya duduk di boncengan motor yang bukan motor gue.

Gue sadar gue menyayangi Alisha saat ia membuat gue merasakan dua emosi yang bertolak belakang bersatu memenuhi dada gue dalam waktu yang bersamaan—gue bahagia melihatnya tersenyum lebar tiap bercerita, tapi gue benci karena mengetahui bahwa alasan di balik senyuman itu bukanlah gue.

Sebuah senyum tipis mengembang di wajah gue seraya jemari gue membelai lembut rambut panjangnya yang tergerai di atas bantal gue. Alisha tampak masih terlelap nyenyak, meski tadi ia telah beringsut untuk merapatkan tubuhnya ke arah gue.

Gue paham, nggak semua orang dikasih kemudahan untuk jatuh cinta dengan sahabatnya sendiri seperti apa yang terjadi pada gue dan Alisha. Gue juga paham, perjalanan kami berdua masih sangat panjang dan pastinya nggak akan selalu mulus kedepannya. Mungkin akan ada Kevin-Kevin lain yang membuat gue harus kembali merasakan sakit dan amarah seperti waktu itu. Mungkin gue akan babak belur lagi, mungkin Alisha akan menangis lagi, dan mungkin gue juga akan menangis bersamanya. Siapa yang tahu?

Gue paham, sakitnya akan berkali-kali lipat kalau di masa yang akan datang, Alisha dan gue pada akhirnya nggak akan bermuara di satu tujuan yang sama.

Tapi, dia ada di sini sekarang, tertidur dan menggelung di sisi gue dengan nyaman seperti seekor anak kucing—dan kebetulan Alisha kalau diliat-liat memang mirip kucing sih. Alisha ada di pelukan gue, dan selama gue masih diberi kemampuan oleh Tuhan, gue tentu aja nggak akan mau menyerah dan melepasnya tanpa perlawanan apa-apa.

Satu kecupan ringan di dahinya dan gue pun mengikutinya memejamkan mata. Lish, Lish, aku beruntung banget tau nggak bisa jadi pacar kamu.

***

A/N:

Istirahat dulu ya dari brengsek2nya Bram, kita gemes2an dulu sama Dodik dan Alichyuuuw

#PacarAnakBandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang