BAB -2

1K 99 33
                                    

"Baginda ratu, ada yang ingin menemuimu."

Ratu Debza, ratu yang begitu dicintai rakyatnya itu menaikkan satu alisnya. Menatap heran pada pelayan wanita yang menghampirinya saat ia tengah berbincang-bincang dengan sahabatnya, putri Vernita.

Putri cantik yang memang sedari dulu menjadi sahabat dekatnya itu ikut menatap bingung. Siapa kah gerangan yang ingin menemui ratu Debza?

"Boleh tahu, siapa orangnya?" tanya ratu Debza dengan cirinya khasnya yang selalu mengutamakan sopan santun meski derajatnya lebih tinggi dibanding seorang pelayan.

Sebelum pelayan itu angkat bicara, muncul lah seorang wanita cantik dengan tubuh tinggi semampainya. Ia tersenyum dengan lebarnya dengan ekspresi yang tidak dapat diduga.

"Hai! Tidak kah kalian bahagia melihatku?" Tanyanya kemudian sembari terus tersenyum.

Ratu Debza balik menatap pada putri Vernita yang benar-benar mengernyitkan dahinya. Memandang muak pada orang yang tengah datang itu. Dia datang dengan penuh senyum, sedangkan ia menatap tajam dengan luka lama yang terbuka.

"Bisa tinggal kan kami?" pinta ratu Debza pada para pelayan yang berjaga di taman belakang istana Felixios.

Para pelayan langsung mengangguk patuh, mereka bergerak meninggalkan tempat itu dengan perasaan yang penasaran. Bukan lah hal yang rahasia lagi tentang persahabatan ratu Debza, putri Vernita dan wanita itu. Mereka dulu berteman sangat baik, hingga akhirnya ada dinding besar yang memisahkan mereka. Semua pelayan istana mengetahui itu. Yang tidak mereka ketahui alasan perpecahan mereka.

"Bagaimana kabar kalian?" tanyanya dengan begitu ramah sembari langsung mengambil duduk di seberang putri Vernita.

Meski tegangan yang sesungguhnya terjadi antara putri Vernita dan wanita itu, ratu Debza masih merasa bersalah karena memihak pada putri Vernita dan membuat persahabatannya dengan wanita itu juga ikut renggang.

"Langsung saja, apa yang kau inginkan?" Putri Vernita memulainya dengan dada yang bergemuruh.

"Hei, aku datang dengan kedamaian. Bisa kah kita berbicara tanpa ada petir?"

Ratu Debza merindukannya, rindu dengan semua canda tawa mereka. Wanita itu benar-benar tidak mengenal situasi, bagaimana bisa dia berbicara seperti itu sedangkan putri Vernita tengah menahan amarahnya.

Putri Vernita menyilangkan kedua tangannya di dada, menatap sengit wanita itu. "Apa yang mau kamu katakan? Jangan berbelit-belit bilang datang dengan damai."

Wanita itu tersenyum tenang, ia mengeluarkan sebuah kotak cincin dari dalam tas kecilnya. Menyerahkannya di hadapan putri Vernita.

"Aku sangat bersyukur kedatanganku kali ini diterima. Ya ku anggap kalian menerima kedatanganku." ujarnya melembut. "Bertahun-tahun kita berpisah karena alasan yang tidak kita selesaikan. Kita terpecah karena saling menolak, saling ingin menang sendiri, saling-"

"Hah, bicara saling ingin menang sendiri! Itu kamu!!" berang putri Vernita.

Ratu Debza sontak menurunkan tangan putri Vernita yang sudah menunjuk langsung dengan jari telunjuknya ke wajah putri cantik itu dengan tatapan sengitnya.

"Biarkan dia menyelesaikan ucapannya," ucap Ratu Debza menengahi.

Ia membenarkan ucapan pembuka dari wanita itu, memang benar, selama ini mereka belum menyelesaikan apa yang tengah terjadi, hanya ada perang dingin yang terjadi. Dan bodohnya dibiarkan berlalu selama bertahun-tahun, adanya ego yang tinggi menghalau semuanya.

Putri Vernita meredam amarahnya. Ia menarik nafasnya dalam lalu menghembuskannya. Dan mengisyaratkan dengan tangannya untuk melanjutkan apa yang ingin di sampaikan wanita itu.

IRREPLACEABLE (Completed √)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang