Ternyata di balik mewahnya rumah sakit ini tersimpan ruangan yang sangat lembab, disertai tidak adanya pencahayaan dari luar. Belum lagi bau menyengat yang sedari tadi ditahannya demi sesuatu yang akan ia ketahui.

Langkah kaki pangeran itu kembali berbelok ke kanan. Ia terus menguntit dengan langkah hati-hatinya yang dipenuhi perasaan ingin tahu yang membuncah.

Charisa melihat adanya sebuah ruangan dengan kaca besar yang menghalaunya. Ia tertahan dari sebuah benda yang berada di tembok. Berusaha mengecilkan badannya sekecil mungkin supaya ia tidak kelihatan dan berusaha mencuri dengar apapun itu.

Pangeran Clinton berhenti tepat di hadapan kaca besar itu. Ia mengusap pelan kaca itu, lalu tiba-tiba ada seorang perempuan yang sepertinya seorang dokter dilihat dari jas putih yang dikenakannya, menghampiri pangeran Clinton yang masih mengusap kaca besar tersebut.

"Aku ikut bersedih," Ucap wanita itu,

Clinton mendongak sembari tersenyum getir. "Di sisi lain aku ingin dia cepat pergi, supaya aku bisa membebaskannya. Di sisi lain, aku tidak ingin dia pergi, aku belum sanggup."

Charisa mengernyitkan dahi, mencoba memahami maksud perkataan pangeran Clinton. Siapa yang dimaksud dengan dia? Apakah raja Denial?

Entah apa yang terjadi, kaca besar itu yang awalnya kelihatan seperti cermin yang memantulkan bayangan pangeran Clinton tiba-tiba berubah menjadi kaca bening yang memperlihatkan suatu ruangan di dalamnya.

Charisa menahan suaranya, ia berusaha menutup mulutnya rapat-rapat. Ruangan itu seperti ruang di suatu rumah sakit, namun hanya ada satu tempat. Dan di sana, ia melihat seorang perempuan dengan rambut panjangnya yang acak-acakan. Di ujung ruangan itu terlihat tembok yang sudah penuh dengan coretan, yang membuatnya menahan pekikan adalah coretan itu bukan berasal ada alat tulis atau pun batu yang digoreskan. Tetapi darah pekat,

Dalam hati ia terus bertanya-tanya siapa wanita tersebut. Ia memang mulai mengingat anggota keluarganya, tetapi tidak dengan wanita itu.

"Cora, aku benar-benar ingin memeluk ibu. Aku rindu dia." lirih Clinton pada dokter perempuan itu.

Charisa merasakan sesak mendalam, ia mulai mengerti maksud Brenda bahwa Clinton itu sendirian. Jiwanya rapuh, ia tidak punya siapa-siapa untuk membagi kisah pilunya.

Tiba-tiba saja, wanita di dalam ruangan itu mendekat ke kaca besar. Ia memukul-mukulnya dengan sangat kencang. Namun Charisa mengerti, kaca itu tidak memperlihatkan apa yang ada di luarnya, tetapi kaca itu seperti cermin tadi. Yang hanya memperlihatkan pantulan diri.

Wanita itu terlihat sangat mengamuk, sesaat setelahnya ia tertawa, lalu kemudian ia kembali memukul kaca itu dengan sangat kuat.

"DEBZAAA!! AKU YANG HARUSNYA MATII! KENAPA MALAH KAMUU?!!" ia kembali memukul kaca itu, dengan tangisan yang mengiringinya. "Bodoh kamu, Tiara. Bodooohh... Hahahahaha!"

Charisa sudah tidak tahan lagi, ia terisak ditempatnya sambil menggigit keras lidahnya supaya tidak terdengar suara tangisannya. Ia melihat pangeran Clinton yang tengah dipeluk erat oleh dokter wanita itu. Menguatkannya dari kenyataan yang ada di hadapannya.

"Sekarang aku tahu Cora, kenapa ibu seperti ini."

👑👑👑

IRREPLACEABLE (Completed √)Where stories live. Discover now