Selalu ada

2.3K 187 97
                                    

K's POV

Semenjak perselisihan menjadi persahabatan... Semuanya menjadi lebih baik dari hari kesehari.
Aku tersenyum menatap Lyra di seberang meja kerja milikku. Ia nampak semakin berbeda, berbeda yang lebih baik tentunya.

Mungkin karena sering menjalin komunikasi dengan Tata dan Flo, membuat ia jauh lebih terbuka. Ia bahkan mulai menikmati waktu mengobrol dengan beberapa pelanggan dan pengunjung Inlander. Tak segan juga ia berbasa-basi menawarkan barang-barang yang menarik.

Bahkan ia tak kaku lagi saat Lontong, Mas Indra, dan Rudraf bergurau, ia bisa begitu mudahnya menimpali tiap-tiap gurauan, baik yang frontal ataupun yang sifatnya sarkastik.

Tanpa terasa aku tersenyum kembali, saat Lyra tertawa, telingaku bagaikan tuli sesaat. Semua hampa suara, aku hanya diam terpana melihat tawa lepas Lyra yang tengah bergurau dengan Rudraf.

Lyra yang setiap pagi, wajahnya kudapati ketika kumembuka mata. Lyra yang setiap hari, berada tepat di seberang meja kerjaku. Lyra yang setiap jam makan siang, duduk di sampingku. Lyra yang selalu menyiapkan bekal dan pakaianku, untuk manggung. Lyra yang selalu tahu makanan favoritku, dan berkemauan untuk belajar membuat dengan tangannya sendiri. Lyra yang setiap malam, wajahnya kuamati sebelum memejamkan mata.

Ini gila.. benar-benar gila, pernahkah kalian merasa begitu dicintai seindah ini? Dan pernahkah kalian merasa mencintai seseorang yang begitu tepat untuk dicintai?

Mungkin bagi setiap orang "normal" saja, mendapat pasangan setia dan membuat nyaman seperti mencari jarum ditumpukan jerami... Benar kan? Apalagi bagi orang sepertiku ini, yang menyimpang... Benar-benar bukan hal yang mudah. Setelah memutuskan untuk melupakan rasaku untuk Flo, aku mengira aku akan selamanya sendirian, punya rasa cinta yang membuncah, namun tak berwadah.

Akulah si beruntung, yang memiliki Lyra. Lyra yang tak kusangka akan mau denganku. Aku yakin, jika akhirnya Lyra tak bisa denganku, akulah yang paling sakit.

"K gimanaaa? boleh nggak???" suara di sampingku membuyarkan lamunanku pagi ini.

Aku menoleh ke samping kananku, ternyata Sonya, ia berkacak pinggang, dengan raut penuh harap mendapatkan jawaban dariku.

"Maksudnya? Apaan sih nyak? Dateng-dateng tiba-tiba nanya.." aku cuek saja.

"Ya ampuuuuun, Sonya udah dateng dari 10 menit yang lalu kaliiii, kamu nggak denger ya tadi Sonya sama aku ngomong apa sama kamu??" Lyra tertawa kecil, sesekali ia melirik pada Sonya.

"Pantesan aja Lyr.. tadi matanya dia tuh ke arah kitaaa, mukanya lempeeeng aja, ternyata halu ke mana-mana. Ngeliatin kamu aja dia dari tadiii, sampe aku samperin ke mejanya, kalo nggak aku naikin volume suaraku, pasti nggak denger diaaa, mikirin apaan siiiik??" Sonya terkekeh, Lyrapun tertunduk-tunduk tertawa.

"Karennn udah biasaaaaa kaya gituuu" mas Indra ikut berkomentar.
Aku menggaruk kepalaku saja, tersenyum malu. "Apa sih mas, nimbrung ajaaa deh". Aku mengedumal pada mas Indra, sembari mengeluarkan tempat pensil dari tasku, aku meminta Sonya untuk mengulangi pembahasan, yang sempat terlewat olehku. Bahkan aku tak menyadari, kapan Sonya masuk ke devisi multimedia. "Gimana gimana gimana, sorry nyaaaaak, jangan dimarahin akunyaaaa" aku bersedekap di meja, dan mendongak menoleh pada Sonya yang menarik nafasnya.

"Ck! Ngulang lagi kan... hadeeeh.. Udah kelamaan ini aku keluar dari ruanganku.." keluhnya, sambil menggeleng. "Ya sorry... Tenang kantor kita masih di sini kok nyaaaak belum pindah, buruaaan!" bentakku tak sabar juga.

"Gini lho K, jadi kemarin ada kerabat suamiku. Dia nanya, Ilustrator produk atau yang ngedesain kemasannya diperusahaan tempatku kerja siapa? Naaaah, aku bilang deh.. aku kenal kok. Emang kenapaaa??" Sonya dengan perlahan namun jelas seolah mengulang dialog. Aku menyimak dan memasang telingaku baik-baik.

The KeyWhere stories live. Discover now