Tiga puluh tiga

731 41 0
                                    

TIGA PULUH TIGA
Mayang Pov

Aku duduk di ruang tunggu, kepalaku seolah mempersiapkan diri untuk menyusun kata-kata yang mungkin akan menyerang Mahesa dengan pertanyaan-pertanyaan. Aku baru datang lima hari kemudian setelah Mahesa mendekam di penjara, karena aku butuh waktu mengatasi rasa syok ku dari sesuatu terakhir yang kulihat. Sebenarnya tiga hari yang lalu aku sudah nyaris menemuinya, tapi aku menemukan Adara di sini, tengah menangis di hadapan Mahesa. Entah karena menangisi keadaan Mahes atau karena menangisi kepergian Ayah bayinya yang mati dibunuh paman nya sendiri. Yang mana pun alasannya berhasil membuat Mahesa menatapnya dengan tatapan yang aku benci untuk aku artikan, tangannya memegang tangan Adara kuat-kuat seolah merasa sangat bersalah dan begitu menyayanginya. Tentu saja aku juga simpati terhadap Adara tapi pemandangan itu tetap berhasil untuk mengusirku beberapa hari ke depan setelah itu. Dan mungkin menghilangnya aku bisa saja menjadikan sebuah persepsi buruk di kepala Mahesa. Pacar macam apa, baru menjenguk. Kalah sama mantan.

Dua menit kemudian akhirnya Mahesa muncul bersama dua orang polisi mengapitnya. Matanya menatapku, dan kuyakin mataku menatapnya dengan cara yang sama. Penuh rasa yang campur raduk yang begitu menekan sehingga tatapan matanya seolah kosong. Dia duduk di hadapanku tanpa melepaskan tatapannya.
"Dua puluh menit," ucap salah seorang polisi sebelum akhirnya keduanya meninggalkan kami.

Gemerencing Mahesa meletakan kedua tangannya yang di borgol, mataku meliriknya dan terenyuh. Agar lebih relaks kuletakan juga kedua tanganku di meja.

"Apa yang kamu lakukan?" ucapku sedikit tergagap. Rasanya rahang dan bibirku cukup keras dan kaku karena kutekan agar tidak goyah karena menangis. "Kamu lakuin semua ini buat apa? Balas dendam? Balas kematian Adam? Suapaya aku bangga?"
Tatapannya seolah meredup, jemari tangannya bergerak-gerak, namun tidak lantas meraih tanganku, seperti ia menggenggam tangan Adara kemarin. Tangisanku akhirnya tidak bisa kutahan.

"Same," gumamnya. Entah maksudnya apa. Tapi tatapannya menohok ku. "Aku pikir kamu gak akan sama kek orang lain, ternyata..."

"I can't believe this too--"

"--So?"

"I'm not blame on you, i just--"

"You're same!" Sekarang suaranya meninggi. Dan aku tersentak.

Sontak kuraih tangannya, mencoba meredakan emosinya yang meledak. "It's ok," ujarku. Aku ingin menjadi seseorang yang menenangkannya disaat semua orang mencacinya dan memberinya jari tengah, aku ingin menggenggamnya. Tapi, sepertinya dia tidak butuh hal itu dariku. Dia menghela napas. "Hidup kamu berantakan seperti ini, gara-gara aku." Ujarku. Lagi-lagi dia menghela napas panjang, jengah? Sama! Merepotkan, membuat orang yang kusayangi kacau, semua itu membuatku jengah, jera pada diriku sendiri. "Kamu berhak hidup lebih baik."

"Life better? Like what" sambarnya, seperti tak percaya dengan apa yang kuucapkan.

"Setelah ini, mungkin kamu bisa meninggalkan saya!"

"Hah? Setelah semua ini, kamu minta saya ninggalin kamu?"

"Ya! I just want you life alive. Better, without the fuck out burden like me!"

"What?"

"Kamu bisa kembali sama Adara lagi pula kamu harus bertanggug jawab menggantikan peran ayah, and it's okay with me. I can life alone. Or get the fuck die, it's okay, i just tired. Karena yang paling penting, i'm tired, see anything hurts you when you try to protect me."

"Aku lagi kek gini, kamu malah gini Yang?"

Isakanku terhenti menatapnya serius. Menyelamin kedua lautan coklat itu jauh lebih dalam. Lagi-lagi aku salah memilih. Lagi-lagi aku membebaninya.
"Maaf."
"Aku emang gak pernah bisa ngertiin kamu kan?" Yasudah jadi buat apa lagi?

"Egois kamu," menusuk.

"Egois? Aku cuma pengen kamu jauh jauh dari masalah setelah ini, Eca." Ucapku dengan tegas.

"But I need you," lirihnya. Napasnya terdengar memberat dan kini tangannya gemetar beregerak meraih kedua tanganku. "Jujur, kamu seperti ini karena kamu benci aku kan?" Satu bulir air mata menetes dari matanya yang merah dan terlihat lelah, dan mataku kembali dibanjiri air mata karena melihatnya sampai menangis. "Sebab abangku yang sudah membunuh Adam? Lalu kamu mengira aku yang membunuh Mahendra?" Aku menggeleng, mungkin benar awalnya aku belum bisa menerima jika aku tidak nyaman akan hubunganku dengan Mahesa karena Adam dibunuh kakaknya, tapi setelah melihatnya seperti ini, mengingat pengorbanannya untuk ku, aku merasa aku hanya bisa merepotkannya saja. Semua ini demi aku!

"Aku akan temenin kamu selama proses kasus ini, tapi setelahnya aku mohon,  cuma pengen kamu gak terlibat lagi masalah karena aku!" Ia menundukan kepalanya, bahunya bergetar, sedang tangannya yang dingin masih mengenggamku erat.

"Mahendra bunuh diri Yang," lirihnya. "Bukan aku yang bunuh, sumpah demi mati." Tersentak, kemudian tanganku mengenggamnya lebih erat. "Kuakui memang aku hendak membunuhnya, tapi ketika melihatnya aku gak sanggup Yang, bagaimana pun dia anak Ayahku."
"Lalu aku difitnah." Rasanya hatiku kembali ditusuk sesuatu yang tajam.

"Stay and believe me, gak ada yang percaya, bahkan Ayah sama Mama." Semuanya tiba-tiba mengubah pikiranku yang akan meninggalkannya nanti. Mulai sekarang dan selamanya aku ingin bersamanya.

"I believe you, I'm here." Kutatap ia dan berusaha menularkan keteguhanku. If he's hurts, I'll be try to fine, for saving him.

"Waktunya habis," kedua polisi itu kembali menggiringnya. Tanpa memberiku kesempatan untuk memeluknya.

Aku menyanyanginya, sangat sekali.

.
.
.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang