Sembilan belas 😲

1K 62 0
                                    

Lagi-lagi aku mendesah, alisku semakin mengerut setiap berusaha mencerna semuanya. Hasil penyelidikanku di surel-surel gelap, dan beberapa transaksi kontrak yang berhasil aku bobol tak membuahkan hasil. Menghela napas sambil menyugun rambutku frustasi, kemudian kusandarkan punggungku ke sandaran kursi agar lebih relax.

Sejak setengah jam lalu eksistensi kopi di samping laptopku terlupakan dan kini mendapat perhatianku. Aku meneguknya. Lalu cangkir bergeduk cukup keras kembali ke meja.

Kepalaku kembali menyusun ingatan tentang bukti-bukti yang terkumpul. Tapi semua lebih abu-abu dibanding persepsi rakitan kepalaku yang berdasarkan pengalaman hidup Adam melalui kaca mataku.

Kematian Adam tak ada sangkut pautnya dengan kontrak terakhir dengan Dawson juga penjualan data-data rahasia. Begitupula dengan kontrak-kontrak jasa stalker tiga bulan ke belakang. Tapi Adam memiliki masalah dengan seseorang. Dan, gua gak tahu siapa. Selama ini dia selalu menyembunyikannya dengan rapi. Tapi kejadian peneroran di acara kantor dulu, menunjukan jika pelakunya adalah Gery. Tapi Gery sudah lama dihukum mati. Satu-satunya yang berelasi adalah dengan kejadian kematian Gamalil.
Yah. Mentok lagi di sana. Bangsat! Kalau sampai bener, apa Mayang akan percaya?

Aku tersentak nyaris saja mengumpat saat kudapati kedua tangan tiba-tiba bergelayut di pundakku dari arah belakang. My girl, like a monkey. "Find something?" Bisik Mayang di dekat telingaku. Aku mengeleng. Lalu ia melepaskan pelukannya dan membiarkanku menegakan tubuh. Dia duduk di meja menghadap ke arahku. Tubuhnya terbungkus sweaterku, menatapku resah dari atas sana dengan kecantikan matanya. Apa aku terlalu memujanya? Kurasa tidak. Apa yang bisa kulakukan selaku hopless romance yang sekarang telah menemukan cintanya, selain memuji dan memujanya.

Aku menghela napas dan mengalihkan titik fokus pikiranku dari bulu mata lentik itu.
"Semua, semuanya gak ada yang memberi titik terang. Abang kamu terlalu rapi nyembunyiin semua." Entah sejak kapan, aku memanggilnya kamu. Mendengar penuturanku raut wajah Mayang kembali terlihat bersedih. Dan aku benci hal itu, aku merasa tidak berguna.
"Tapi gua punya satu kemungkinan berdasarkan apa yang pernah dialami Adam," lanjutku.

"Apa itu?” tanya Mayang bersemangat.

"Yah, ini cuma berdasarakan persepsi gua aja." Kuhela lagi napas untuk kembali menyambung ucapanku yang agak berat untuk ku utarakan. "Gua rasa ada relasinya sama kematian Gamal."

Mayang tersentak, ekspresi ketidakmengertiannya terlihat jelas bagiku yang suka meneliti hal-hal detail. Dia memang ekspresif berbanding terbalik denganku yang pasif.  "Lalu?" katanya menuntut penjelasan.

"Yah...  selain Bumi, pihak yang pernah disalahkan oleh geng bangsat itu atas kematian Gamal adalah Adam. Lalu siapa yang selama ini dendam sama kita?" ujarku lalu bertanya, berharap dia ngeuh.

Setelah beberapa detik berlalu Mayang akhirnya berseru ragu "Sean?" Aku mengangguk.
"Tapi, dengan pembunuhan serapih ini, gua rasa gak masuk akal juga sih tu bocah ingusan. Tapi itu satu-satunya hipotesa yang gua punya."
Ah aku ini bagaimana, baru kali ini aku merasa bodoh. Sepertinya gadisku juga kebingungan, ia kembali menerawang. Dari deru napasnya kurasakan kecemasan tengah melandanya. Dan mungkin ia juga sedikit tidak menyangka. Sebab Sean adalah adik Gamalil, yang tidak lain tidak bukan adalah adik dari mantan pacarnya. Jarinya mengetuk pelan ke meja laku berujar dengan santai.
"Yap, harus ada bukti. Kita gak bisa nuduh gitu aja. Walaupun riwayat Sean dengan kita emang gak baik." Aku setuju dengan ucapannya.

"Udah malem banget," Mayang melirik jam di tangannya.

Aku ikut melirik jam di dinding. Ah benar. Menutup laptop dan menyesap sisa kopiku. "Yup! Pantes makin dingin." Kataku kemudian bangkit untuk menegakan kakiku yang kaku karena berjam-jam duduk,  lalu kumasukan laptop ke dalam tas yang kusimpan begitu saja di lantai. Dan sempat diceramahi Mayang.

"Pulang ke rumah kan?" Mayang menatapku penuh kecurigaan. Aku tersenyum tipis, geli dan senang kalau sudah melihatnya mencemaskan aku. "Apartemen Ali. Anak-anak lagi ngumpul," sahutku.
"Yaudah hati-hati. Jangan macem-macem."
"Macem-macem? Maksudnya?”
"Mabuk, misal."
Aku terkekeh sambil menyampirkan tas ke punggungku. "Gua cuma perokok, bukan pembuk. Anti."
"Sip!" sahutnya. Lalu dia terkejut karena aku yang tiba-tiba mencondongkan diri ke arahnya. Kuletakan kedua tanganku menekan meja di kedua sisi Mayang. Lagi-lagi aku terkekeh melihat rona merah di pipi gadisnya.
"Why so Nervous?" kataku menggodanya. Aku tahu dari deru napasnya yang menerpa wajahku, pipinya agak memerah dan sudah pasti detak jantungnya sedang meliar di sana. Selain pengamat aku juga selaku perasa, sama-sama merasakan hal tersebut.

"Enggak!” sergah Mayang segera sambil memberanikan diri membalas tatapanku, dia lucu sekali.

"Okey!” seruku sambil mengangguk-angguk. Aku sedang menimbang-nimbang, sebelum akhirnya aku berani mengatakan, "Can I kiss you?"

Sepertinya Mayang terkejut, kurasakan tubuhnya menegang beberapa saat. Tapi kemudian gadis itu malah tertawa. She always like that. "Harus ya izin dulu kek gitu Ca?" katanya lalu tersenyum manis dan sedikit licik. Dan kuanggap itu izin legal.
"Terus gua nyosor aja gitu?" timpalku sambil menatapnya lekat-lekat. Kadang aku kasihan pada Adam, kenapa dia mempunyai adik yang begitu cantik dan lucu, sedangkan dirinya tidak cantik apalagi lucu.

"Ya kan bisa pake bahasa tubuh, pendekatan—" belum sempat menyelesaikan ucapannya, mulut ku sudah memblokadenya. Aku suka mengejutkannya. Waktu berlalu, sekarang tanganya bergelayut di pundakku sedang aku lenganku di pinggangnya.
Shit! Dia melingkarkan kakinya dan membuatku semakin tidak berjarak. Ini kutukan terbaik yang sulit kuhentikan. Tolong, aku harus segera pulang.

Ciuman lembut itu akhirnya bisa kuhentikan setelah beberapa menit kemudian handphoneku berbunyi. Gadisku nampak kecewa, tapi itu yang terbaik. Malam yang amat dingin ini tidak baik untuk melakukan ciuman lama-lama. Atau nanti dia sendiri yang rugi. Lantas aku memeriksa. Rupanya teman-temanku.

Brother Freak (Line)

Reno :
Depan rumah Mayang niiih

Aku tidak tahu jika Reno dan Bumi akan menjemputku. Good! Gak perlu habisin bensin. Aku bisa menitipkan motorku di sini dan nebeng ke mobil mereka.

Bumi :
Udah jangan keasikan ekhem!

Mahesa :
Gua turun

Bumi :
Anying turun dari mana? Lo ngapain Mayang?

Mahesa :
Ingin berkata MONYET!

Dari sudut mataku kulihat Mayang masih menatapku lekat-lekat. Aku menerka dia sedang merasa terharu. Akhir-akhir ini dia memang sensitif dan mudah sekali menangis. Dia pernah bilang. Satu-satunya alasan dia bertahan hidup di dunia ini adalah kehadiranku. Katanya semuanya telah pergi, orang-orang yang disayanginya sudah tak ada lagi. Dan hanya tertinggal satu. Kalau sampai aku kenapa-kenapa, katanya ia tidak tahu lagi apa alasan untuk menjadi waras.

Air matanya meleleh ke pipi, segera ia singkirkan. Sudah kuduga. Lantas kujejalkan ponselku ke dalam jaket kemudian menatapnya.
"Cengeng lo," ujarku perlahan sambil mengacak rambut gadis bermata coklatku.
Kedua tangannya yang lembut merengkuh wajahku, "kalau kamu gak mau aku mati, jangan sampe hilang dari bumi."
"Ngomong apa sih lo bego!” tukasku. Aku selalu tidak suka kalau Mayang sudah berbicara yang tidak-tidak. Tanpa menyahut ia menarikku kemudian memelukku beberapa saat dan melepaskanku. Seandainya saja, aku bisa memeluknya sepanjang malam.

"Bumi udah jemput di bawah," kataku. Dia melongok ke jendela memeriksa ke luar kemudian mengangguk paham.
"Yaudah, gua pulang. Tidur yang nyenyak jangan banyak pikiran."
"Siap boss!” sahutnya sambil memberiku hormat. Aku tersenyum kemudian pergi. Menninggalkannya adalah mengundang keresahan, yang kemudian datang menyergap membayar kontan setiap langkahku.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang