Lima belas 😶

1.2K 74 0
                                    

Mayang.

Entah pergi kemana Mahesa. Saat aku bangun dia sudah tidak ada di sampingku. Perasaanku bercampuraduk, berbunga namun juga resah dicampuri tanda tanya. Ciuman semalam, dan pelukannya masih terasa begitu nyata untuk sekedar jadi mimpi. Apa artinya semua perlakuannya ini? Aku tidak mau menduga, meski nalarku berbisik menafsir-nafsirkan yang terlalu berlebih. Tidak mungkin Mahesa peduli padaku karena ia menyimpan perasaan. Kurasa itu hanya salah satu sikap peduli seorang teman ke temannya.

Kupejamkan lagi mataku, dan kilasnya kembali terbayang. Bersama semilir angin pagi yang menerbangkan gorden, serta kicau burung di pepohonan, melihat wajahnya dalam benakku masih lebih jauh menenangkan dibandingkan keadaan di sekelilingku.

Aku terduduk seketika ketika mendengar suara teriakan Adam dari luar. Mahesa ketahuan. Segera saja aku berlari keluar dari kamar, pergi menuju ke sumber suara yang ternyata berada di dapur. Berlari menuruni tangga tanpa peduli kakiku nyaris limpung karena baru bangun ditambah dengan selimut tipis putih yang melilit.
"Eca gak salah!" kataku sontak ketika berhasil melewati frame dapur tanpa terjatuh.

Aku melongo karena pemandangan perkelahian tak aku dapatkan. Tidak seperti yang kuekspektasikan, justru Adam duduk di frame jendela dengan santai, ia menghentikan kunyahannya yang sedang memakan apel, sementara Mahesa yang berdiri di dekat table-cooking menoleh kepadaku dengan sunging sebelah sudut bibirnya. Berhasil membuat darahku berdesir dan jantungku bertalu. Kemudian kedua pasang mata itu menatapku seperti geli, pandangannya turun ke arah bagian kakiku. Agar tak terlihat makin tolol segera saja aku melangkah, melepaskan diri dari lilitan selimut tapi tetap kikuk.

"Aku lapar," ujarku seolah tak terjadi apa-apa, aku langsung duduk di kursi menghadap ke meja makan.

"Katanya, cewek bangun pagi pake kemeja putih dan celana kolor itu seksi," ujar Adam lalu melempar sisa apelnya tepat ke kandang anjing herder di sebrang.

"Adikmu nggak termasuk," sahut Mahesa yang entah deh sibuk apa. Aku tidak mau terlihat memperhatikannya. Tapi ucapannya yang ngehe berhasil membuat tanganku bergerak cepat meraih celemet yang tergeketak di meja lalu mendamprat bokongnya.

"Aduh!" dia mengeluh. Lalu menangkap celemet yang kulemparkan ke padanya dengan asal. "Thanks," katanya kemudian memakaikan benda itu ke tubuhnya.

"Jangan pedes Ca," kata Adam lalu duduk di sebrangku dengan santai. Sementara aku merengut menatapnya.

"Abang nyuruh Mahes masak?"

"Don't belittle my skill miss," tukas Mahesa. Sekarang aku menatap lelaki yang sibuk di table-cooking itu.

Kenapa keliatan makin keren? Aku memerhatikan garis wajahnya dari samping. Lekuk rambut, kening, hidung dan bibirnya juga penempatan alis yang terkesan judes sukses menata wajahnya menjadi begitu sempurna.

He kissed me? Omg! Apa yang lo pikirin waktu itu Ca?

"Anteng banget sih," Aku tersentak, aku tidak sadar entah berapa lama aku menatap Mahesa sampai kakakku sekarang cikikikan sambil menatapku jahil. Dasar petakilan. Kan malu didengar Mahesa. Kutendang saja lututnya. Adam mengaduh sedangkan Mahesa terkekeh.

"Auto osteoporosis akut," ucap Mahesa tanpa menoleh.
.
.
Setelah selesai sarapan dengan makanan yang Mahesa buat. Aku segera pergi ke kamar lagi untuk mandi. "Makasih, masakannya tidak terlalu buruk."

"Dari pada gak bisa masak sama sekali," celetuk Mahesa. Dia menyeindirku? Dari mana dia tahu? Ah sudah lah! Aku pun pergi tanpa aku pedulikan ucapan Mahesa.

Rasanya parno, dekat-dekat Adam setelah semalam ciuman dengan Mahesa. Jadinya rasanya ingin jauh-jauh dari mereka.

.
.
.

BILURTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang