Delapan 😜

1.5K 95 0
                                    

Mayang mendengarnya, bunyi notifikasi yang sengaja ia atur berbeda, nada dering khusus untuk Mahesa. Tapi kali ini ia berpura-pura tuli, alih-alih membuka pesan tersebut Mayang malah menghela napas dan merebahkan pipinya di atas meja.

Kelas dalam keadaan sunyi, membuat detik jam berdenting jelas dan suara siulan riang dari koridor bisa terdengar. Dari sayup menjadi semakin jelas ketika tubuh tegap Elang melangkahi kusen pintu. Bersama semangkuk bakwan lelaki itu tersenyum lebar ketika Mayang menoleh ke arahnya. Namun dengan senyuman hambar Mayang membalasnya.

Elang berpitar sebelum meletakan mangkuk di hadapan Mayang. "Special buat Ratu," ujar Elang meletakan mangkuk di hadapan Mayang.

"Thanks panglimaaaa," seru Mayang agak tersendat, ia mencoba menghilangkan jenuh yang ia rasa.

Elang tersunging lalu duduk di atas meja Mayang. "Kok panglima? Gua kira gua rajanya."

"Iya lah, kan mencintai raja itu bukan karena kerajaannya," sahut Mayang. Terdengar ambigu bagi Elang. Tapi yakinlah seandainya jika yang ia ajak bicara adalah Mahesa, pasti ia tidak perlu menjelaskan. Lelaki itu cerdas, dan cepat tanggap, seperti janji-janji iklan produk susu bayi. Mungkin Mahesa juga bukti dari kebenaran iklan-iklan itu.

Elang menatapnya heran sedangkan Mayang menyuruput kuah bakwan lalu melirik ponselnya, dalam pikirnya rajanya ada di dalam sana. Tapi perasaanya kembali menjungkir balikan dirinya. Memikirkan Mahesa kembali membuatnya bete, super bete. Entah kenpa. Baginya Mahesa adalah sosok yang sejalan dan paling mengerti dirinya tapi kadangkala juga ia sosok yang sangat bertolak belakang dengannya.

"Maksudnya gimana?" tanya Elang meminta penjelasan.

"Kalau mau jadi rajanya gua, gua harus mencintai lo. Sedangkan mencintai raja harus bukan karena kerjaannya. Nah, sementara kalau pun iya gua mencintai lo, itu pasti karena kegantengan dan ketenaran lo. Itu bukan cinta."

Elang melempar kepalanya ke belakang lalu tertawa kencang. "Ya udah! Cintai gua apa adanya. Tanpa liat sisi ganteng dan tenar gua."

Mayang mencebik, "sebagai manusia bergelar perempuan biasa, itu hal yang gak bisa gua abaikan." Mayang menyuapkan potongan bakwan ke mulutnya, kemudian meneruskan, "lo ganteng... lo tenar... gua cinta lo?"
"Hahaha itu gak tulus."

"Hahaha, ada ya cewek macam lo. Belum cinta aja udah bilang gak tulus. Ah! Serah lo deh." Elang beranjak.

"Kemana?" tanya Mayang.

"Gua belum beli makan tau," sahut Elang lalu melenggang menuju pintu. Tiba-tiba alisnya mengernyit, ia melihat sekelabat orang di balik pintu. Dengan cepat Elang menyusul.

"Mahesa!" ujarnya.

Mayang langsung tersentak mendengar seruan Elang. Eca? Sejak kapan—pikirnya.

"Fuck!" Gumam Mahesa pada dirinya sndiri. Ia memutarkan badan ke arah Elang.

"Lo? Kenapa gak masuk aja?" tanya Elang.

Sianjir! "Ergh! Iya gua takut ganggu" sahut Mahesa mendadak kikuk.

"Ca?" Mayang muncul dan berdiri di ambang pintu. Shit! batin Mahesa.
"Lo nyariin gua?" tuntut Mayang.

Mahesa menggaruk tengkuknya, sebelum bergumam ia melirik Elang yang masih mematung di antara dia dan Mayang.

"Okee, gua cabut," ujar Elang memahami maksud lirikan Mahesa. "Jagain ratu gua ya," bisiknya di telinga Mahesa. Dengan senyuman sinis Elang pergi meninggalkan Mayang dan Mahesa.

"Ada apa?" tanya Mayang membuyarkan lamunan Mahesa yang sedang mencari maksud ucapan Elang.

Mahesa bahkan tak menyiapkan alasan untuk menemui gadis ini. Bahkan mungkin seharusnya dia terkejut mendapati dirinya berada di depan kelas Mayang.
"Anter gua ke perpus," sahut Mahesa.

BILUROnde histórias criam vida. Descubra agora