Bryant meraih telapak tangan Wanda. "Maukah kamu menjadi istriku?" tanya Bryant, ia memerangkap Wanda dalam tatapannya.

Wanda terdiam. Hidungnya mulai perih, matanya mulai berkaca-kaca, serta jantungnya yang berdetak kencang dan dada yang terasa penuh. Ternyata ini rasanya, dilamar oleh pria yang disukainya. Wanda menangis pelan kemudian menganggukkan kepalanya.

Bryant memasang cincin itu pada jari manis Wanda setelah mengeluarkan yang lama, begitu juga sebaliknya. Setelah itu Bryant meraih Wanda ke dalam pelukannya dan ikut menangis terharu. Ia tidak menyangka bahwa ia akan merasakan momen ini.

"I love you, My Wife," kata Bryant. Kalimat itu jugalah yang kembali membuat hati Wanda penuh, membuatnya kembali menangis. Kata-kata yang ditunggunya, diucap oleh Bryant di saat yang tepat, terlalu tepat malah.

"I love you too," balas Wanda.

***

"Bagaimana kelanjutan novelmu?" Di tengah-tengah perbincangan mereka, Bryant menanyakan hal itu. Pertanyaan yang dianggapnya penting untuk saat ini, untuk kelanjutan rencananya. Rencana yang Bryant yakini akan semakin mendekatkan mereka berdua sebagai suami-istri. Bryant benar-benar berharap banyak.

Wanda mengangkat wajahnya dari kungkungan Bryant. Bryant memeluknya erat di atas kasur, menunggu kantuk menjemput mereka tidur. Tapi, bagaimana mereka bisa tidur jika Bryant terus memulai pembicaraan? Mata Wanda yang sedari tadi sudah mulai sulit untuk dibuka pun perlahan-lahan mulai nyalang lagi. Dasar Bryant!

Nyatanya bukan hanya wanita saja yang sulit dimengerti, Bryant juga sulit dimengerti!

"Naskah terakhir sudah kuserahkan ke penerbit, tinggal sunting akhir, setelah itu cetak dan tanda tangan halaman pertama. Siap dipasarkan, deh," jelas Wanda. Ia melihat senyum Bryant perlahan-lahan terbit. "Ada apa? Aku rasa ada suatu hal aneh yang sedang kamu rencanakan, aku betul kan?"

Bryant menggeleng masih dengan senyum yang terpatri di wajahnya. Bahkan matanya sudah membentuk lengkungan bulan sabit. Benar-benar sulit disembunyikan, karena bibirnya dan matanya bergerak sendiri seiring dengan perasaannya yang berbunga-bunga.

Wanda memberinya tatapan memicing, menunjukkan bahwa ia tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Bryant.

"Berapa lama lagi kira-kira semua proses itu selesai?" tanya Bryant setelah berhasil menghilangkan ekspresi bahagia yang tidak tahan untuk muncul. Ia harus bersikap biasa saja agar tidak terlihat seperti tengah merencanakan sesuatu.

"Kurang lebih dua bulan, karena harus antri cetak dengan novel penulis lain yang sedang diproses," jelas Wanda. "Ada apa sih sebenarnya?"

Bryant berdehem sebelum menggelengkan kepalanya. "Tidak ada. Tidak apa-apa."

Wanda mengerutkan keningnya. Pasti ada apa-apa, tidak bisa tidak ada apa-apa. Kecurigaan Wanda semakin menjadi-jadi karena kalimat terakhir Bryant sebelum mengajaknya untuk kembali berusaha tidur.

"Kosongkan jadwalmu setelah proyek ini, oke? Kira-kira satu bulan."

***

Bryant menepuk kedua tangannya berulang-ulang kali, memuji dirinya sendiri atas keberhasilannya memesan tiket pesawat menuju London sebagai awal dari segala proses menyambut bulan madunya. Ia sudah berhasil mengetahui jadwal Wanda dan memintanya untuk mengosongkan jadwal. Wanda sudah setuju dan memberikan tanggal pasti promosi novelnya, bukankah ini hal yang bagus? Kurang lebih satu minggu lagi, mereka akan berangkat, bulan madu pertama mereka.

Hari ini benar-benar hari yang membahagiakan. Ditambah dengan akhir-akhir ini dirinya dan Wanda juga sudah kembali dekat dan semakin terbuka kecuali Wanda yang tidak ingin menceritakan segala hal bahkan secuil hal tentang novel yang ditulisnya.

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now