Bagian 92 (Suluk)

Start from the beginning
                                    

"Beres," kata Yoga mengalungkan tali tas laptop itu ke tubuhnya. Tas itu kini telah menjadi tas selempang.

Yoga memegang erat batang pohon besar itu dengan kedua tangannya. Mendadak dia melompat dan kedua kakinya mengapit batang pohon. Sementara tangannya berpindah ke level yang lebih tinggi. Sekali lagi, dan tubuhnya berhasil melompat lebih tinggi.

Rizky bengong menyaksikan seorang tuan muda Yoga bertransformasi menjadi seperti cicak. Dia sungguh tak menyangka Yoga bisa melakukannya. Fisiknya memang terlihat kuat. Tapi memanjat pohon hanya dengan kaki dan tangan?? Wow! Itu biasanya hanya bisa dilakukan tukang kebun atau petani pohon karet!

Mata Yoga menatap seksama sebuah dahan pohon, jaraknya setengah meter lagi. Dia mengatur napas. Ini sama sekali tidak mudah. Tapi demi kedamaian satu bulan ke depan di tempat suluk, dia HARUS melakukan ini!! HARUS!!

 Yoga membuat gaya tolak yang kuat dengan kedua kakinya, mengentak batang pohon, dan akhirnya tangannya berhasil meraih dahan pohon. Tubuhnya berayun dengan tangan di dahan pohon sebagai porosnya. Dia berhasil naik ke dahan itu, dan kini tengah berdiri di atasnya.

"Whoaa!" seru Rizky menatap takjub. Yoga seperti monyet, pikirnya.

Entah berapa menit berlalu, akhirnya Yoga sudah di bagian atas pohon itu. Dia duduk di sebuah dahan yang sepertinya cukup kokoh, dan terpana melihat pemandangan di bawah. Matanya terasa teduh melihat bukit-bukit hijau terhampar. Dilapisi pepohonan dan rerumputan hijau cerah. Langit biru muda, awan putih halus. Angin terasa sejuk.

Wauw. Subhanallah, gumamnya dalam hati.

Posisi matahari nyaris di atas kepala. Yoga bersegera mengeluarkan laptopnya. Mengirim file laporan rapat yang terakhir kali dihadirinya sebelum dia kemudian cuti. Sent. Fiuh ... okay that's done.

Laptop dimatikan, layarnya ditutup dan dimasukkan ke dalam tas. Yoga mengeluarkan ponselnya dan menghubungi Mieke. Di dering ke tiga, wanita itu mengangkatnya. Dari suaranya, terdengar sangat senang saat menyadari bos favoritnya menghubunginya.

"Ha-halo?? Pak Yoga??"

"Iya, saya. Mieke, dengar. Saya baru saja mengirim laporan rapat. Tolong dicek. Print dan berikan pada ayah saya."

"Baik Pak. Kapan Bapak akan kembali bekerja, Pak?"

"Insyaallah sebulan lagi."

"HAHH?? SEBULAN??"

"Iya. Ayah saya sudah tahu. Apa ... ayah saya baik-baik saja?"

"Iya Pak. Pak Dana sempat izin sakit 3 hari. Darah tingginya kumat katanya. Tapi setelah itu beliau sudah masuk kantor dan kelihatannya sehat, Pak."

Yoga menghela napas lega mendengarnya. "Alhamdulillah. Syukurlah kalau begitu. Tolong sampaikan salam saya pada ayah. Saya tidak bisa bicara lama-lama. Setelah ini, saya tak bisa menghubungi siapa-siapa lagi, sampai sebulan ke depan."

"Baik, Pak. Akan saya sampaikan."

Tak lama Yoga menyudahi sambungan telepon itu.

Hh ... selesai. Cepat, 'kan? Seharusnya kulakukan ini sejak awal, pikir Yoga.

"Yoga!! Apa kamu sudah selesai?? Cepat turun!! Sebentar lagi azan!" teriak Rizky.

 Yoga melihat ke bawah. Teman sekongkolnya itu berwajah cemas.

"Iya, sebentar!!" sahut Yoga dari atas pohon. Tangannya kembali sibuk dengan ponsel. Mencari sebuah nomor yang baru saja ditemukannya saat dia mengerjakan laporan rapat tadi. Dalam kondisi terburu-buru, bisa-bisanya dia mencari nomor telepon restoran steak. Jarak restoran steak terdekat dari sini adalah 3 jam. Kemungkinan mereka tak akan mau mengantar. Tapi Yoga tetap mencobanya. Berharap mereka mau kalau diiming-imingi dengan pembayaran 2 atau 3 kali lipat. Dia rela mengeluarkan uang banyak, demi sepiring daging steak. Sudah 8 hari ini yang dikonsumsinya hanya umbi-umbian!! Rasa-rasanya tubuhnya seolah telah berubah menjadi umbi. Umbi Yoga.

"Halo? Restoran Steak Ladaqu?"

"Iya benar, Pak. Mau pesan apa?"

"Saya mau order delivery. Dua porsi Prime Tenderloin."

KRRSSSKKK!!! " Maaf bisa diulang, Pak? Suara anda -- " KRSSSKKK!!!

Suara mengganggu itu membuat Yoga menatap layar ponselnya. Rupanya sinyalnya drop.

Tsk. Menyebalkan!

Matanya melihat ke dahan yang lebih tinggi sedikit dari posisinya. Dahan itu terlihat lebih kecil dari tempatnya duduk sekarang. Tapi, dia merasa ingin mencobanya. Siapa tahu dahan itu cukup kuat.

Rizky terheran-heran melihat temannya yang sedang berusaha pindah ke dahan yang berbeda. Apa yang sedang dia lakukan? pikirnya.

"Yoga!! Lagi ngapain, sih? Cepat turun!!"

Tubuh Yoga sudah berhasil menduduki dahan yang posisinya lebih tinggi. Di saat bersamaan, mata Rizky menangkap ada yang tidak beres. Pangkal dahan yang baru diduduki Yoga, tampak oleng.

"HEY YOGA!! AWAS!!! HATI-HATI!!"

KRAKKKKK!!!!

Tanpa melihat ke arah sumber suara, wajah Yoga seketika pucat. Dia sadar dahan yang didudukinya telah patah. Matanya dengan panik melihat ke bawah. Ternyata dia telah memanjat begitu tinggi. Rasa ngeri yang luar biasa menjalar ke seluruh darahnya.

Tubuhnya jatuh bebas dari ketinggian lebih dari 20 meter. Tangannya berusaha meraih apapun yang bisa diraihnya, tapi semuanya luput!! Kulit tubuhnya tergores ranting-ranting tajam yang dilewatinya hingga berdarah-darah.

"AARRGGHH!!!!" jerit Yoga panik.

Rizky berteriak ketakutan, "YOGAAAA!!!!!!!!"

Wajah Yoga menghadap ke arah langit. Sinar mentari muncul melalui sela-sela dedaunan. Rasa takut telah membuat tubuhnya terasa dingin. Inikah akhir hidupnya?

.

.

***

ANXI (SEDANG REVISI)Where stories live. Discover now