Bryant masuk ke dalam kamar. Ia melepas jas kemudian menaruh buket bunga ke atas meja kerja. Ia berjalan menuju kasur lalu duduk di atasnya sebelum kembali menghubungi Wanda. Masih sibuk, seperti terakhir kali. Mungkin perbincangannya belum selesai.

Bryant menghela napas. Di saat yang bersamaan, pintu kamar terbuka, menampilkan Wanda dari balik pintu dengan ponsel yang menempel di telinga. Wanda juga sibuk berbicara tanpa menyadari bahwa Bryant ada di dalam kamar. Wanda tidak menyalakan lampu karena kedua tangannya yang penuh. Ia meletakkan semua barang di atas meja hingga buket bunga mawar merah menarik perhatiannya. Secara tidak sadar ia tersenyum kemudian meraih buket itu untuk dihirup.

Apa Bryant membelikannya buket bunga ini? Pertanyaannya dijawab langsung oleh kartu ucapan yang menyembul di antara mahkota bunga. Wanda menarik kartu ucapan dengan tulisan tangan Bryant.

Love you.

Dua kata sederhana yang membuat jantung Wanda kembali berdetak kencang. Lalu di mana Bryant sekarang? Lagi-lagi, pertanyaannya terjawab dengan cepat. Pertanyaan dalam hati Wanda terjawab dengan pelukan erat dari Bryant. Hanya dalam sekali hirup, udara halus yang dibawa Bryant membuatnya langsung mengenali suaminya. Wangi kopi dan jeruk yang menunjukkan aroma pria yang menyegarkan.

Wanda diam, berusaha mengendalikan perasaannya yang sudah kembali berbunga-bunga karena perlakuan sederhana Bryant. Ia memfokuskan pikirannya untuk membalas perkataan lawan bicaranya. Lagipula ia juga masih sedikit marah dengan Bryant, tapi ia tetap membiarkan Bryant memeluknya.

Jujur saja, ia merindukan Bryant. Tapi, tidak boleh lemah.

Ia harus konsisten dengan keputusannya waktu itu. Hubungan mereka hanyalah hubungan sementara yang tidak akan dibawa ke masa depan.

Wanda mematikan sambungan telepon setelah obrolannya berakhir. Ia melepas rengkuhan Bryant dengan berat hati. Ia memutar tubuh menghadap Bryant yang sedang menatapnya dengan senyum lebar nan polos.

"Hai, Sayang." Bryant hendak mengecup bibir Wanda, namun Wanda menghindar. Sikap itu memunculkan denyutan nyeri di dadanya.

Mereka diam. Sibuk dengan pikiran dan perasaan masing-masing. Bryant yang kecewa. Wanda yang menyesal.

Bryant memberanikan diri untuk memecah keheningan. Ia kembali tersenyum meski tidak selebar dan seceria tadi. "Kamu sudah lihat bunganya?"

Wanda menganggukan kepala.

"Ada banyak sekali yang ingin kukatakan padamu," lanjut Bryant. Ia berusaha terdengar senang, meskipun gugup setengah mati.

"Apa?" tanya Wanda. Ia melipat kedua tangan di depan dada. "Ada hal yang harus kukerjakan lagi."

Ini bukan ekspresi yang diharapkan Bryant, membuatnya kembali berusaha memikirkan langkah selanjutnya karena apa yang sudah direncanakannya sedari tadi tidak cocok lagi untuk sekarang. Bryant memberanikan diri meraih tangan Wanda untuk digenggamnya, namun hanya berselang beberapa detik kemudian, Wanda menjauh.

"Kenapa diam? Bukannya katamu, banyak sekali hal yang ingin kamu bicarakan padaku malam ini?" tanya Wanda lagi.

Bryant menghembuskan napas. Namun, sepertinya itu hal yang salah.

"Kamu menghela napas? Sebegitu sulit? Apa kamu ingin mengatakan hal yang tidak baik?"

Bryant menatap Wanda. Tidak tahu apa yang salah dan apa yang diinginkan Wanda. "Aku diam karena aku berpikir. Aku butuh waktu untuk berpikir agar kalimat yang keluar dari mulutku tidak memicu pertengkaran yang lebih dalam, tidak ambigu," jelas Bryant. "Agar kamu bisa langsung mengerti maksud perkataanku tanpa membawanya menuju arah negatif."

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now