Bryant berbalik, balas menatap Wanda yang juga tengah menatapnya dari sofa, "Bukankah kita sudah berada beberapa langkah lebih jauh dari status orang asing yang menikah karena terpaksa? Bukankah kita sudah berbagi kasur yang sama? Sehingga seharusnya kamu lebih terbuka."

Tangan Bryant terkepal, air mukanya mengeras. "Tidak ada yang salah dengan pekerjaanmu dan tidak ada yang salah juga untuk bertanya mengenai apa yang kukerjakan. Atau kamu memang tidak tertarik? Dan tetap ingin kita berpisah setelah berita kita tenggelam?"

Bryant menunggu selama beberapa saat. Ia mengamati bibir Wanda yang bergerak gelisah seperti ingin menjawab tapi berujung bisu. Bryant menghembuskan napasnya kasar, mencoba mengeluarkan sesak yang memenuhi dada. Sesulit itukah untuk berkata tidak? Sesulit itukah untuk membantah semua spekulasi buruk Bryant yang mengarah ke perpisahan?

"Baiklah," putus Bryant akhirnya. Bryant berjalan berbalik menjauhi Wanda. Ia bukan orang yang sabar hingga dapat menanti jawaban yang belum tentu sesuai dengan harapannya. Daripada dikecewakan, lebih baik ia yang mengecewakan.

Tidak perlu menanti orang yang bahkan ragu akan dirinya sendiri. Bukankah begitu?

Baru saja berjalan beberapa langkah yang mendadak terasa sangat kecil, lambat, dan lama, Bryant merasakan tubrukan pada punggungnya. Tubrukan yang sangat kuat. Sepasang tangan kecil merengkuh pinggangnya, mencengkeramnya dengan erat kemudian terdengar suara lembut yang bergetar. "Baiklah apa? Tidak ada yang baik!"

Bryant menjaga ekspresi wajahnya agar tetap tidak menunjukkan minat, meskipun ia sadar bahwa Wanda tidak dapat melihat ekspresi wajahnya sama sekali dari punggung. Bryant memilih diam.

"Jangan buat keputusan saat marah. Aku tahu kamu kecewa, tapi dengarkan penjelasanku terlebih dulu," kata Wanda. Pelukannya mengerat. Wanda mencengkeram kemeja yang dipakai Bryant, serta menempelkan wajahnya lebih dalam pada punggung Bryant yang tegap.

"Kalau begitu, jelaskan," kata Bryant masih sambil memunggungi Wanda. Ia ingin tahu, seberapa terbuka dan percaya Wanda padanya. Bukankah normal bagi pria jika mereka ingin diandalkan pasangannya?

"Aku bekerja sebagai penulis, itu identitas asli pekerjaan zaman now-ku," kata Wanda. Bibirnya hanya terbuka kecil saat berucap.

"Kenapa pekerjaan itu harus ditutup-tutupi?" tanya Bryant. Ia masih berdiri kaku dengan kedua tangan di samping pinggang, tidak bergerak menggenggam tangan Wanda yang terkait di depan perutnya.

"Aku tidak khusus menutupinya darimu, jika itu yang kamu khawatirkan," kata Wanda cepat. "Aku menutupi identitasku kepada siapa saja, selain pegawai di kantor penerbitan."

Bryant diam, karena ia rasa, Wanda belum selesai dengan kalimatnya.

"Aku tidak ingin kehidupan normalku hilang begitu saja ketika orang-orang tahu bahwa aku penulis. Aku tidak suka dilihat khalayak ramai, apalagi di tempat yang kusukai seperti toko buku," lanjut Wanda. Ia berbicara dengan wajah dan bibir yang masih menempel pada punggung Bryant. Ia melakukan hal itu karena malu. Malu mendengar semua hal yang selalu berputar dalam kepalanya. Ternyata hal yang ia tidak sukai itu, dan yang ia anggap sebagai hal besar... terdengar begitu kecil dan sederhana saat terucap. Seperti hal remeh yang sebenarnya tidak perlu ia takuti.

"Berlaku sama denganku?" tanya Bryant.

Wanda melepas pelukannya, lalu menatap punggung Bryant yang tegang. "Aku tidak khusus menutupinya darimu—"

"Tapi kamu bisa jadikan aku sebagai pengecualian, bukannya malah ikut menutupinya dariku." Suara Bryant tidak meninggi, namun terdengar kekecewaan di dalamnya. "Apa aku masih orang asing bagimu? Seperti saat awal kita bertemu? Sesuai dengan janji kita untuk tidak mengetahui pekerjaan masing-masing?"

Wanda terdiam. Ia menatap Bryant. Kedua kakinya terasa lemas sehingga ia berusaha untuk merapatkan kedua kakinya, namun malah tubuhnya yang terasa tidak seimbang. "Tentu bukan," jawab Wanda. Ia menunduk, menatap lantai. "Kamu suamiku," lanjut Wanda.

Mendengar kata yang ingin didengarnya keluar dari bibir Wanda, Bryant melunak. ia berbalik menghadap Wanda lalu memegang kedua bahu sempit itu erat-erat. "Kita harus terbuka jika ingin menjadi pasangan sesungguhnya."

Wanda mengangkat wajahnya menatap Bryant. Sesungguhnya? Apakah ia belum terlihat bersungguh-sungguh? Jadi, sebenarnya di tahap apakah hubungan mereka? Apakah dirinya dianggap tidak sungguh-sungguh hanya karena tidak memberitahukan pekerjaan aslinya? Jika ingin diungkit, Wanda juga ingin mengungkit Bryant yang tidak menceritakan identitas dirinya dan apa pekerjaan pria itu dengan jelas! Bukankah mereka sama saja?

Mendadak Wanda merasa dongkol.

Mendadak Wanda merasa dongkol

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now