Setahunya, ia tidak pernah menarik perhatian khalayak umum sebesar itu. Memang, ada kemungkinan yang lumayan besar karena beberapa judul novelnya laku keras ditambah bukunya akan kembali terbit dalam waktu dekat. Jika diingat kembali, sempat beberapa kali pembaca dan wartawan majalah mencoba mencari informasinya. Tapi Wanda yakin, jika adapun, wartawan yang datang meliput juga tidak akan seramai tadi.

Astaga, semuanya membingungkan!

Mereka diam sepanjang perjalanan menuju Tower A. Sibuk dengan pikiran mereka mengenai apa yang harus mereka lakukan selanjutnya setelah tiba di kantor Bryant.

***

Setibanya di Tower A, Wanda menarik tangan Bryant, "Apa tidak apa-apa aku datang ke kantormu? Bagaimana kata orang lain? Bosmu perbolehkan?"

Bryant mendengus tidak percaya. "Aku bosnya."

Wanda membulatkan mata tidak percaya. Bryant bos dari Tower A ini? Tower tinggi menjulang ini? "Kamu bos Tower A ini?"

Bryant kembali mendengus. "Kamu istriku, tapi kamu tidak tahu."

Bola mata Wanda menyendu. "Maaf." Jujur, ia bukan orang yang penuh rasa ingin tahu. Baginya, ia hanya akan tahu informasi mengenai seseorang jika memang orang itu perbolehkan. Ia bukanlah orang yang akan mencongkel segala informasi hingga ke akar-akarnya. Itu bukanlah haknya, setiap orang memiliki privasi—bagian dari dirinya yang tidak perlu maupun tidak boleh diketahui orang lain.

"Nanti saja." Bryant keluar dari mobil, meninggalkan Wanda di belakangnya. Lebih banyak amarah dalam hatinya ketimbang khawatir lagi. Ini karena Wanda sudah berada di sisinya, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, sehingga berganti amarahnya yang menguap ke permukaan.

Wanda mengikutinya dari belakang, kemudian berdiri di sampingnya saat mereka masuk ke dalam lift. Wanda tidak berani bicara sama sekali, ia takut salah bicara dan malah menambah amarah Bryant. Sesekali ia mencoba meraih tangan Bryant untuk digenggam, namun ditariknya kembali.

Mereka berada di dalam lift dalam waktu yang cukup lama meskipun tidak pernah ada hambatan seperti terbuka di tengah jalan untuk menerima orang lain. Sekalinya pintu lift terbuka, mata Wanda disambut dengan lantai yang luas, bersih, dan rapi, serta pemandangan kota yang indah. Hawa dingin pendingin ruangan melewati bagian tubuhnya yang terbuka.

Bryant dan Tony membawanya menuju satu-satunya pintu di lantai ini. Tony berhenti di dekat pintu untuk membukakan mereka pintu tanpa ikut masuk.

Bryant mengarahkan Wanda untuk duduk di sofa abu-abu di pojok ruangan dekat dengan dinding kaca. Bryant memilih duduk di sofa tunggal, yang langsung diekori Wanda untuk duduk di dekatnya meskipun di sofa yang berbeda.

"Bagaimana?" Suara Bryant memecah keheningan. Suaranya bergema.

"Kantormu?" tanya Wanda sebelum menambahkan, "indah sekali. Aku tidak tahu kamu punya kantor seindah ini."

Bryant terkekeh, namun terdengar pedih. "Dan kamu baru tahu hal ini sebulan setelah pernikahan kita."

Wanda mengutuk bibirnya. Ia salah bicara. "Maaf."

"Aku tidak tahu apa yang ada dalam pikiranmu hingga tidak ingin aku tahu pekerjaanmu, dan bahkan kamu tidak peduli dengan siapa kamu menikah dan bercinta."

"Bukan seperti itu maksudku—"

Kalimat Wanda dipotong Bryant. "Apa maksudmu kalau begitu?" Bryant berdiri dari sofa kemudian berjalan mendekati dinding. Ia menatap pemandangan di luar sana dengan pandangan kosong. "Sebelum kita tidur bersama, aku memaklumi keinginanmu untuk tidak menceritakan segalanya tentang dirimu karena memang itu hakmu. Tapi...."

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now