"Kuantar," kata Bryant, seperti perintah yang harus dipatuhi oleh Wanda. Ia memeluk Wanda dari belakang, kemudian meletakkan dagunya di atas bahu Wanda. "Kamu wangi sekali. Setiap santai di rumah, kamu tidak pernah sewangi ini, malah selalu tenggelam dalam daster longgar dan rambut acak-acakan, aku bahkan ragu kalau kamu mandi."

Wanda tidak tersinggung. Ia malah tertawa keras. Bagaimana bisa ia mengetik naskah novelnya dengan nyaman menggunakan rok spandek dan blazer seperti ini? Yang ada malah ia mengamuk karena kepanasan dan tidak berhasil mengetik satu huruf pun.

"Tidak perlu antar aku," tolak Wanda yang sudah kembali pada topik pembicaraan mereka. "Aku mandi tahu, wangi semerbak seperti bunga mawar. Kamu saja yang selalu cium saat keringatan."

Bryant mengangguk-anggukkan kepalanya. "Kalau begitu, aku tidak boleh buat kamu keringatan lagi? Oke, aku setuju, asalkan kamu jangan minta, ya!"

Wanda membawa piring di tangan kanannya, kemudian mematikan kompor. Setelah itu ia berbalik, membiarkan kepala Bryant terangkat secara paksa dari bahunya. Ia mencubit Bryant sambil berjalan menuju meja makan.

"Jangan bahas lagi," kata Wanda. Ia tidak berani menatap wajah Bryant yang sudah menampilkan ekspresi jahil yang sangat amat menyebalkan.

"Aku tidak akan bahas lagi kalau kamu setuju untuk kujemput pulang," tawar Bryant sekali lagi. Saat melihat Wanda membuka bibirnya ingin menolak, Bryant menambahkan, "Biarkan aku merasakan bagaimana rasanya menjemput istri pulang kerja."

"Maaf, tapi aku tidak tahu pulang jam berapa," elak Wanda sebagai alasan agar tidak perlu dijemput Bryant, "kalau cepat, aku main ke kantormu. Kalau lama, kamu pulang dulu saja."

"Oh, kamu mau main ke kantorku? Memangnya tahu kantorku di mana?" goda Bryant, karena hingga saat ini mereka masih belum mengungkapkan pekerjaan masing-masing.

Wanda menunduk bingung. Ia baru sadar, selama ini ia sibuk menutupi pekerjaannya sendiri hingga tidak sadar bahwa ia tidak mengetahui pekerjaan suaminya. Tidak pernah terpikir olehnya bahwa mengetahui pekerjaan seseorang itu cukup penting karena ia sendiri ingin menutupi pekerjaannya, dan sepertinya itu sudah menjadi ketidakpedulian yang akut.

"Di mana kantormu?" tanya Wanda, menjaga ekspresinya agar terlihat cuek.

"Datang saja ke Tower A jalan Gajah Mada," kata Bryant sambil mencomot kentang goreng dari piring.

"Ada Tower A di jalan Gajah Mada?" tanya Wanda sambil membayangkan kembali jalan Gajah Mada yang baru beberapa kali dilewatinya. Wanda tidak sering ke sana karena lumayan jauh dari apartemennya, ia juga jarang berbelanja di sekitar sana karena di sanalah area paling mewah di kota.

"Ada, huruf A besar di puncak tower," jawab Bryant, "bisa kita makan sekarang? Aku sudah harus berangkat. Yakin tidak perlu kuantar?"

Wanda menggelengkan kepalanya. "Akan kukabari lagi sore nanti." Wanda memutuskan untuk berjalan mendekati Bryant dan mencium pipi suaminya yang terlihat tengah menjaga ekspresi, antara kesal dan kecewa. "Akan kukatakan pekerjaanku ketika aku siap. Yang penting, pekerjaanku bukan pekerjaan buruk dan negatif."

Bryant menganggukkan kepala tanpa menatap Wanda, masih sibuk menyantap sarapan paginya.

"Aku akan terbuka ketika aku siap," tambah Wanda lagi. Ia mengambil alih dasi Bryant dari atas meja kemudian memasangkannya. "Kamu tahu tidak artinya mengikatkan atau membelikan dasi untuk pasangan?"

"Hm?" gumam Bryant, masih dengan ketidakpeduliannya.

"You're mine," kata Wanda sensual sambil menarik dagu Bryant agar wajah mereka berhadapan. Apakah ini benar dirinya? Astaga! Kenapa ia bisa senekat ini? Persetan dengan pikirannya itu. Wanda mengecup bibir Bryant.

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now