1 - Canggung

22.2K 643 77
                                    

I pretend that I'm not ready
Why do we put each other through hell?
Why can't we just get over ourselves?
And you say hi like you just met me
Why do we put each other through hell?
Why can't we just get over ourselves?

Why - Shawn Mendes

***

Iqbaal duduk di kursi dekat kolam renang sendirian, sambil menghirup rokoknya dalam-dalam. Waktu sudah menunjukkan pukul 22.30 dan besok pagi-pagi sekali akan syuting film Dilan 1991, tapi ia sepertinya tidak berencana untuk tidur dalam waktu dekat ini. Biasanya ia menghabiskan malamnya bersama Omen, asistennya, tapi kali ini ia sendirian.

Sasha yang baru saja pulang dari selesai take terakhir di hari itu hendak berjalan ke kamarnya di lantai lima hotel, kemudian melihat Iqbaal dari kejauhan. Sudah hampir setahun ini mereka seperti musuh, tidak saling bicara, tapi diam-diam saling tersakiti. Persahabatan yang awalnya mudah menjadi rumit ketika mereka mulai jatuh cinta. Dan patah hati. Kemudian membenci.

Ia harus melewati area kolam renang untuk menuju lift ke kamarnya. Sebenarnya dia bisa saja memutar agak jauh, tapi lorongnya agak gelap dan Sasha takut melewatinya sendirian. Sasha menoleh ke belakang, menunggu siapa tahu ada orang yang ia kenal bisa sama-sama menenaminya melewati kolam renang. Ia benar-benar berusaha untuk tidak bersinggungan dengan Iqbaal di luar syuting. Bukan karena ia tidak mau, tapi Iqbaal juga menjaga jarak dengannya sehingga ia merasa takut untuk memulai duluan. Tapi sayangnya, hotel sudah tampak sepi.

Dengan berat hati, Sasha berjalan ragu ke arah kolam renang, melewati Iqbaal. Ia berharap dalam hati semoga Iqbaal tidak menyadari kalau ia lewat karena pasti mereka berdua akan canggung sekali. Saat Sasha hendak melewati Iqbaal, tiba-tiba Iqbaal menengok dan mereka akhirnya bertemu mata. Sasha terkejut dan akhirnya mematung canggung, "Iqbaal...".

Iqbaal juga terlihat terkejut dan menatap Sasha tajam.

"Kamu mau ini?" Sasha menyerahkan sekotak susu yang tadi ia beli untuk dirinya sendiri. Ia tidak tahu harus bereaksi apa jadi tiba-tiba ia mengeluarkan susu itu.

"Hah?" Iqbaal terlihat bingung dengan reaksi Sasha.

"Ini susu buat kamu. Enak kalau diminum sebelum tidur. Eh, kamu belum tidur?" kata Sasha berusaha untuk membuat keadaan menjadi tidak terlalu canggung, walau kelihatannya agak gagal.

"Eh?" Iqbaal menerima susu strawberry kesukaan Sasha. Masih bingung dan canggung juga.

"Ya udah, aku ke atas dulu, ya. Hehehe." Kata Sasha nyengir dan semoga aja nggak kelihatan aneh di depan Iqbaal.

"Tunggu, Sha!" Iqbaal mematikan rokoknya dan mengambil jaket yang tadi ia taruh di kursi, "Aku ikut."

"Ikut?" tanya Sasha kebingungan.

"Iya, kamarku kan juga harus lewat lift yang sama kayak kamu." Kata Iqbaal menjelaskan.

"Eh, iya." Sasha menundukkan kepalanya sambil merasakan detak jantung yang semakin cepat.

Selain syuting, mereka udah nggak pernah ngobrol bareng, apalagi jalan berdua seperti ini lagi. Dulu waktu syuting Dilan 1990, hampir setiap saat mereka menghabiskan waktu bersama, kayak anak kembar. Di mana ada Iqbaal, di situ ada Sasha. Masa-masa paling menyenangkan, yang sayangnya tidak bisa diulang lagi. Dan ternyata sekarang rasanya aneh ketika ia harus berjalan di samping Iqbaal.

Sasha melirik Iqbaal sekilas. Badannya semakin besar, dadanya semakin bidang, pipinya lebih chubby. Lucu. Sasha tersenyum geli dalam hati. Dulu Iqbaal kurus sekali. Lebih tepatnya cungkring. Hidup di Amerika, tapi masih aja kayak kurang gizi. Hihihi. Tapi sejak dapat peran Minke dan harus olahraga untuk menaikkan berat badannya, badan Iqbaal jadi lebih berisi dan tampak nyaman kalau bersender di dadanya. Eh! Sasha menggeleng-gelengkan kepalanya sendiri menyadari khayalannya yang sudah kejauhan. Pipinya bersemu merah. Untungnya Iqbaal nggak sadar.

"Kak Cindy ke mana?" tanya Iqbaal memecah keheningan.

"Kak Cindy balik ke Jakarta tadi pagi. Mau nemenin Kak Sissy keliling promo film barunya." Kata Sasha menjelaskan keberadaan Cindy, saudaranya yang selalu menemaninya di Bandung selama syuting kali ini, "Kalau Kak Omen di mana?"

"Udah tidur dari tadi."

"Oh," Sasha mengangguk-anggukkan kepalanya. Bingung lagi harus berbicara apa.

Iqbaal memencet tombol lift ke atas. Ketika pintu lift terbuka, Iqbaal mempersilahkan Sasha masuk duluan. Sasha lupa betapa Iqbaal selalu bersikap gentleman kepadanya. Seketika ia merasa hatinya berdesir. Aduh! Ia menutup jantungnya dengan kedua belah tangannya.

"Kamu kenapa?" tanya Iqbaal yang melihat keanehan Sasha.

"Nggak papa. Dingin aja." Sasha segera menggosok-gosokkan kedua tangannya seolah-olah berusaha menghangatkan tubuhnya.

"Makanya udah tahu Bandung dingin, pake kaos tipis-tipis gitu, sih." Iqbaal menjulurkan jaket yang dari tadi ia pegang ke Sasha, "Nih."

"Ah, nggak, ah. Nggak dingin-dingin banget juga." Sasha mulai salting. Ya masa dia pake jaket Iqbaal.

"Jadi dingin atau nggak, nih?" tanya Iqbaal menegaskan.

"Nggak. Nggak." Geleng Sasha.

Tiba-tiba Iqbaal memakaikan jaketnya ke badan Sasha, "Nggak, tapi jelas kamu kedinginan. Keras kepala amat."

Sasha berdiri kaku. Pipinya memerah dan jantungnya rasanya sudah turun sampai ke dengkul. Ternyata perhatian Iqbaal sekecil apapun masih mampu memberikan efek yang besar pada perubahan fisiologis di dirinya. Tubuhnya serasa menghangat, bukan karena jaket. Tapi karena diam-diam, ia rindu Iqbaal yang seperti ini. Seperti dulu yang ia kenal. Ia rindu rasa seperti ini yang rasanya sudah berusaha ia kubur dalam-dalam.

Lift menunjukkan lantai 4, tempat kamar Iqbaal berada, "Eh, ini lantai kamar kamu. Kamu kok nggak pencet tadi?" Sasha berusaha menekan tombol 4, tapi sudah terlambat, liftnya terus jalan.

"Ya udah sih, nanti tunggal turun lagi" Iqbaal kembali jutek seperti biasanya, "Ke lantai kamu aja dulu."

Lift berhenti di lantai 5. Sasha keluar dari lift, "Aku duluan, ya."

Tapi Iqbaal ikut keluar dari lift juga.

"Kok kamu turun di sini?" tanya Sasha kebingungan.

"Ya kamu aja suka takut gelap. Bisa nangis kamu nanti jalan di koridor sendirian." Ejek Iqbaal.

"Ih, aku nggak gitu!" Sasha merengut kesal. Ya, walaupun benar, sih. Tapi kan dia nggak semanja itu juga.

Iqbaal mengantarkan Sasha sampai depan kamarnya, "Kamu nggak bakal ketakutan kan tidur sendiri?"

Sasha biasanya memang nggak pernah tidur sendiri. Tahun lalu, ia ditemani Lilis, asistennya. Tapi sekarang Lilis sudah menikah jadi nggak bisa ikut. Sementara Kak Cindy sudah pulang. Jadi Sasha harus berani tidur sendiri. Pasti bisa.

"Ya, nggaklah!" Sasha berkata lantang walau ada nada keraguan dari suaranya. Tapi ia nggak mau kelihatan lemah dan cengeng di depan Iqbaal. Dia mau Iqbaal menganggapnya sudah dewasa dan kuat sekarang.

"Oke. Bye." Iqbaal beranjak pergi menuju ke lift, sebelumnya ia berkata, "Telepon aja kalau kamu takut."

"Telepon siapa?"

Iqbaal menghela napas panjang, "Ya aku."

"Buat apa?"

Iqbaal jadi salting. Iya ya, buat apa. Masa mau nemenin di kamar kayak tahun lalu. Nggak lah. Sekarang keadaannya sudah jauh berbeda, "Ya telepon aja dulu. Buat apanya ntar aja kalau udah kejadian. Udah, ah!" Iqbaal masuk ke dalam lift.

Sasha menghela napas. Dasar pemarah. Tapi sesaat kemudian ia tersenyum mendapati jaket Iqbaal yang masih ia pakai. Wangi parfumnya masih terasa. Sama seperti dulu. Kangen.

***

Tentang RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang