Wanda kembali sibuk mengaduk bubur yang hampir matang lalu menuangkan telur yang sudah dikocoknya secara perlahan-lahan ke dalam bubur masih terus sambil diaduk. Ponsel Bryant sudah ditaruhnya lumayan jauh dari kompor dengan mode speaker. "Bryant demam, Mom."

"Si nakal itu demam? Bukan mual atau ngidam karena kamu hamil, Sayang?" tanya Lina sekali lagi, mencoba mendapatkan jawaban yang diinginkannya.

"Wanda belum hamil, Mom," jawab Wanda. Bagaimana ia bisa hamil jika dirinya dan Bryant belum pernah berhubungan badan sebelumnya? Hal ternekat yang ia lakukan saja baru beberapa menit lalu ia realisasikan. Dan tentu saja ciuman tidak bisa membuatnya langsung hamil begitu saja, kan?

"Sepertinya Bryant demam karena lelah bekerja," tambah Wanda. "Tony sudah menghubungi dokter untuk segera datang dan Wanda sedang memasak bubur untuk Bryant. Apa ada obat yang bisa dikonsumsi Bryant? "

"Mom dan Dad akan segera ke rumah. Untuk saat ini beri Bryant makanan dulu, Mom juga tidak tahu obat demam apa yang biasa dikonsumsi Bryant karena anak itu tidak pernah demam lagi sejak kecil." Setelah itu Lina memutuskan sambungan telepon secara sepihak.

Wanda segera menuangkan bubur ke dalam piring lebar agar mudah dingin lalu membawanya naik bersama dengan segelas air. Saat masuk ke dalam kamar, Wanda mendapati Bryant sudah terduduk di atas kasur sambil melihat ke arahnya.

"Sudah bangun?" tanya Wanda basa-basi sambil menaruh piring di atas nakas dekat Bryant. Ia menyodorkan minuman kepada Bryant yang langsung diminumnya habis.

Wanda menarik kursi rias dari dalam walk in closet ke hadapan Bryant sebelum kembali meraih piring untuk menyuapi Bryant bubur. "Kamu harus makan bubur, sebentar lagi dokter akan datang untuk memeriksamu."

Bryant menerima suapan Wanda dalam diam, tidak bicara sama sekali.

"Bagaimana bisa sakit?" tanya Wanda. Bryant masih tidak menjawab apa-apa, membuat Wanda hanya bisa kembali menyuapi Bryant bubur. "Ada masalah di kantor?" tanya Wanda lagi. "Jangan terlalu banyak berpikir."

Bryant masih diam.

"Kenapa diam? Masih tidak enak badan?" Kali ini Wanda mengembalikan piring ke atas meja. Ia mengangkat tangannya untuk mengecek suhu tubuh Bryant sekali lagi mulai dari kening, pipi, kemudian beralih ke leher.

Kening dan pipi Bryant terasa biasa saja. Tapi saat tangan Wanda menyentuh leher Bryant, pria itu berjengit kaget dan dengan cepat menurunkan tangan Wanda.

"Tanganku terlalu dingin sampai membuatmu kaget? Maaf," kata Wanda sambil menyembunyikan kedua tangannya di balik punggung.

"Bukan begitu, hanya saja, jangan pegang aku secara tiba-tiba lagi." Kalimat pertama yang keluar dari bibir Bryant, sayangnya berupa penolakan. Hal ini membuat Wanda sedikit kecewa.

"Maafkan aku."

"Bukan—"

"Bryant! Anak Mom! Kamu sakit?" Suara Lina yang baru saja masuk ke dalam kamar tanpa izin membuat Wanda langsung menjauhkan posisi duduknya, namun dilarang oleh Bryant dengan rangkulan mesra pria itu pada pinggang.

"Om Hardi sudah datang, tadi Mom ketemu dia di bawah bersama Tony. Sudah lama sekali kamu tidak sakit, kenapa sekarang bisa sakit? Kamu yakin, ini semua bukan karena Wanda sedang hamil?"

"Mom," tegur Bryant.

Wanda langsung beranjak dari kasur saat melihat pria tua seumuran Rudi berjalan masuk ke dalam kamar bersama Tony dan Rudi. Wanda mempersilakan mereka untuk berjalan mendekati Bryant.

Pria tua yang diyakini Wanda sebagai seorang dokter itu mulai membuka tasnya lalu mengeluarkan stetoskop dan termometer. Beliau mengukur panas tubuh Bryant sambil mendengar detak jantung menggunakan stetoskop. "Bryant tidak apa-apa. Hanya demam. Apa yang terakhir kamu lakukan hingga bisa demam seperti ini?" tanyanya.

Weddings' SmugglerWhere stories live. Discover now