40. Saya Non Muslim

6.8K 283 8
                                    

"Terkadang, toleransi menjadi salah satu awal dari terciptanya sebuah perdamaian."

Tok tok tok.

"Assalamualaikum."

"Waalaikumsalam. Mas Ilyas? Kok jam segini sudah pulang?" tanya Sonia setelah membuka pintu.

"Kita masuk dulu ya sayang," melangkahkan kakinya ke ruang tamu yang kemudian disusul Sonia yang mengekor di belakangnya.

"Jadi kenapa Mas?" tanya Sonia kembali setelah berhasil mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi di ruang tamu.

"Sebenarnya aku punya kabar gembira buat kamu."

"Wah, apa itu Mas?" tanya Sonia antusias.

"Jadi gini sayang, nanti malam ada acara di kantorku. Dan alhamdulillah kini aku akan segera naik jabatan."

"Alhamdulillahirabilalamin, selamat ya Mas."

"Iya alhamdulillah. Bosku bilang ia suka dengan hasil kerjaku, dan ia memintaku untuk datang nanti malam untuk menerima penghargaan di pesta tahunan nanti malam. Ia juga meminta untuk kita datang bersama sekeluarga seperti para pegawai lain. Menurutmu bagaimana sayang?"

"Menurutku kita harus tetap datang ke pesta itu, karena aku takut bos Mas Ilyas nanti merasa kita tidak menghargai undangan darinya."

"Tapi bagaimana dengan Hafsya? Apakah keadannya saat ini sudah semakin membaik?"

"Insya Allah aku sudah sehat kok Mas," sahutku dari belakang tubuh Mas Ilyas.

Sebenarnya sedari  tadi aku sudah mendengar ketukan pintu tersebut, namun karena aku yang masih berada di dalam kamar mandi untuk memenuhi hajatku membuatku terlambat untuk menyambut kedatangannya. Dan menyahut pembicaraannya akhirnya aku lakukan juga, karena aku sama sekali tidak ingin terlambat dalam pembahasan ini. Atau bisa dikatakan kini kesehatanku sudah menjadi normal seperti sebelumnya, sehingga tidak ada alasan lagi untuk menolak undangan tersebut.

"Apa kamu yakin Hafsya?"

"Insya Allah aku yakin, Mas," duduk di samping Sonia.

"Alhamdulillah kalau begitu, berarti insya Allah nanti malam kita bisa pergi bersama-sama."

"Iya Mas," jawab Sonia.

"Kalau begitu aku kembali ke kantor dulu ya. Nanti aku kirimkan saja baju untuk kita nanti malam biar kalian tidak capek-capek lagi untuk membelinya di luar. Dan jika kalian tidak suka dengan bajunya,  kalian tinggal kembalikan saja dan minta baju yang lain yang menurut kalian lebih bagus," jelas Mas Ilyas panjang lebar.

"Insya Allah jika Mas Ilyas yang memilih kita pasti suka," jawabku dengan senyuman.

"Alhamdulillah kalau begitu. Aku kentor dulu ya," memberikan tangannya kepada Sonia terlebih dahulu baru kemudian kepadaku.

"Hati-hati ya Mas," mengantar Mas Ilyas sampai depan pintu.

"Iya, kalian jangan sampai telat makan ya."

"Iya, Mas Ilyas juga ya," jawab Sonia.

"Assalamualaikum," ucap Mas Ilyas.

"Waalaikumsalam," jawab kami hampir bersamaan.

Seperti biasa setelah Mas Ilyas tak lagi nampak dari jarak pandang kami, kami pun akan segera masuk rumah untuk menyambung kegiatan kami masing-masing. Dan kegiatan kami hari ini menjadi tambah ekstra karena harus menyiapkan keperluan pesta di kantor Mas Ilyas nanti malam setelah melakukan kewajiban rumahtangga kami.

Sebenarnya Sonia tidak mengizinkanku untuk melakukan kewajibanku seperti biasa. Namun dengan susah payah akhirnya aku bisa meyakinkannya. Melihat raut kecapekan yang tergurat jelas di wajahnya membuatku semakin tidak tega jika tetap harus tetap diam walau ia berada dalam kesibukannya. Apalagi ditambah dengan keadaanku yang memang saat ini sudah baik-baik saja, hal itu membuatku semakin ingin membantunya.

Tok tok tok.

Terdengar suara pintu yang diketuk dengan suara yang lumayan pelan. Kami yang kebetulan sedang mengerjakan pekerjaan yang sama segera menghampiri suara ketukan tersebut berasal dengan bersama-sama. Dan segera membukanya.

"Selamat sore, kami adalah karyawan yang diminta Tuan Ilyas untuk memilihkan baju untuk istri beliau."

"Oh iya, silahkan masuk," sambut kami ramah.

"Terima kasih," memasuki rumah kami beserta karyawan lain yang menyusulnya dari belakang setelah menerima kode darinya. Aku rasa dia adalah pimpinan para karyawan tersebut.

"Sama-sama. Ayo silahkan duduk, saya ambilkan minum dulu ya," berlalu pergi meninggalkan ruang tamu untuk membuat minuman untuk mereka.

"Seharunya tidak usah Mbak, kami jadi merepotkan. Lagian kami juga bukan seorang tamu yang harus dimuliakan. Kami hanyalah karyawan Tuan Ilyas yang disini untuk melaksanakan tugas darinya," jawab karyawn wanita tadi yang ternyata bernama Zabrina.

"Tapi bagi kami, setiap yang datang ke rumah kami adalah seorang tamu yang patut untuk kami muliakan," jelasku.

"Sungguh saya merasa benar-benar sangat dimuliakan. Saya akui baru kali ini kami melaksanakan tugas tapi mendapatkan sambutan seramah ini."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataannya yang terdengar begitu tulus.

"Ayo silahkan diminum," tawar Sonia saat ia sudah kembali dengan senampan air minum yang memenuhui baki yang saat ini dibawanya.

"Terima kasih, sekali lagi maaf merepotkan."

"Tidak kok, ayo silahkan diminum," tawar Sonia lagi.

Setelah semua karyawan yang berjumlah lima orang wanita tersebut meminum minumannya, mereka segera melaksanakan tugas mereka kembali. Ketika mereka mendapatkan kode dari Zabrina, keempat karyawan tersebut langsung menyiapkan semua baju yang mereka bawa untuk ditunjukkan kepada kami.

"Jadi, siapakah dari kalian yang merupakan  istri dari Tuan Ilyas? "

Deg!!!

Entah mengapa aku merasa ada sesuatu yang sangat aneh di hatiku ketika karyawan cantik tersebut menanyakan hal itu. Namun aku segera menepisnya agar tidak berubah menjadi penyakit hati yang nantinya akan sangat merugikanku lagi.

"Kami berdua adalah istri Mas Ilyas," jawab Sonia dengan tenang.

Aku melihat ke arah Sonia sebentar. Melihat keanggunannya yang tetap utuh, membuatku juga berusaha untuk bisa mengendalikan keadaan dengan sebaik mungkin.

Tapi entah mengapa saat aku kembali menatap ke arah Zabrina aku mendapati ada sesuatu yang berubah dari mimik wajahnya. Apa mungkin karena jawaban dari Sonia?

"Oh, mari saya tunjukkan gaun terbaik kami," berusaha menutupi kekecewaannya dan kembali menjadi karyawan yang seprofesional mungkin.

Kami menghampiri gaun yang ditunjukkan Zabrina dengan penuh kekaguman. Karena bagiku semua gaun yang dibawa meraka sangatlah luar biasa. Namun atas berbagai pertimbangan dan juga saran dari Zabrina akhirnya kami menemukan gaun yang menurut kami cocok untuk kami gunakan di pesta nanti.

Bagi kami gaun yang kami pilih haruslah meliliki tiga nilai, yaitu nilai estetis, nilai medis, dan nilai religi. Dan atas saran dari Zabrina kami pun mencoba gaun tersebut terlebih dahulu. Akhirnya yang menjadi pilihanku adalah gaun berwarna biru muda dengan tanpa adanya motif yang berlebihan dan yang nantinya akan aku padukan dengan jilbab berwarna biru serta niqab yang nantinya akan aku gunakan adalah berwarna hitam. Sedangkan Sonia memilih gaun berwarna abu-abu yang nantinya ia padukan dengan jilbab dan niqab berwarna putih.

"Allahuakbar... Allahuakbar..."

"Alhamdulillahirabilalamin, sudah azan maghrib. Kita shalat dulu yuk," ajak Sonia.

"Iya, mari Zabrina kita shalat dulu," mengulangi ajakan Sonia pada Zabrina.

"Maaf saya tidak shalat. Saya non muslim."

"Maaf saya tidak tahu."

"Tidak papa, tapi teman-teman saya ini muslim. Kalian silahkan beribadah dulu, nanti biar saya menunggu di ruang tamu saja."

"Iya, sekali lagi maaf ya."

Zabrina hanya mengulas senyum cantiknya yang kemudian pergi menuju ruang tamu. Sementara itu keempat temannya yang telah selesai mengambil wudhu kini telah mengambil posisinya sebagai makmum. Sehingga aku dan Sonia segera bergegas untuk melaksanakan syarat sah shalat sebelum akhirnya bergabung bersama mereka untuk berjamaah bersama.

Sahabatku Istri SuamikuWhere stories live. Discover now