06. Gagal

11.1K 436 4
                                    

"Fiksi, itulah kata yang pantas untukku."

Semenjak kejadian di hari itu aku hidup bagai robot atau mayat hidup. Bagaimana tidak? Hidupku seakan tanpa tujuan.

Hari-hariku aku habiskan untuk membersihkan rumah, menerima siksaan dari Paman dan Bibi, dan menerima caci makian yang tidak ada habisnya.

Kadang di saat aku tertidur aku berharap tidak akan bangun lagi. Tapi bahkan aku tidak berhak untuk kematianku sendiri.

Aku terlalu takut untuk melihat hidupku, sehingga aku memutuskan untuk lari darinya. Lari dan terus lari, pergi, namun tak mempunyai tujuan dan juga tak tahu arah. Walau aku mempunyai kesempatan untuk berhenti, namun aku juga terlalu takut bahkan hanya untuk berdiam sejenak.

Bahkan yang lebih parahnya lagi, aku takut memandang wajahku di cermin. Aku menjadi wanita yang lebih pantas untuk disebut sebagi si buruk rupa.

Wajahku sudah tak pernah lagi tersentuh air wudhu. Hatiku kering, karena tidak pernah tersentuh embun dzikir.

Hari demi hari aku habiskan untuk berkhayal, bahwa suatu hari akan ada pangeran berkuda putih yang akan menjemputku pergi dari istana penyihir ini.

Aku terus menulis dunia fiksiku dengan alat tulis dan buku yang tertinggal dari pengawasan Paman dan Bibi. Dunia yang ku tulis sangatlah indah hingga aku tidak ingin keluar darinya.

Aku pernah mendengar bahwa Raja Jalaludin Akbar menulis takdir dengan pedangnya. Maka akupun memutuskan menulis takdirku dengan tinta emas. Walau hanya sekedar fiksi.

Seperti biasa Bibi dan Paman akan menyiksaku. Tapi hari demi hari siksaan itu semakin jarang aku terima. Mungkin mereka sudah bosan?, pikirku.

Orang membangun rumah tinggi menjulang. Disertai pagar yang juga tak kalah tingginya. Hingga manusia lain tidak dapat melampauinya. Seperti rumah ini, yang memiliki tembok begitu kokoh dan pagar yang sangat kuat. Tapi rumah ini mampu membungkam manusia yang ada di dalamnya, termasuk diriku. Bungkaman ini mampu mencegah telinga anak cucu Adam untuk mendengar jeritan manusia di dalamnya.

Hari ini aku menulis cerita yang sangat indah. Dimana seorang putri yang terperangkap mampu melepaskan diri dari istana ratu yang jahat. Ia berhasil mencuri kunci istana saat Ratu tersebut sedang tertidur. Dan ia menemukan pangeran yang ditunggunya selama ini.

Setelah selesai menulis cerita tersebut aku beranjak untuk pergi tidur. Namun saat aku akan memejamkan mata aku kembali teringat dengan ceritaku tadi. Kenapa aku tidak mencuri kunci yang dibawa Bibi?, pikirku.

Dengan diam-diam aku memasuki kamar Paman dan Bibi. Aku berusaha mencarinya dengan sangat hati-hati. Tapi dengan sangat malang aku tidak sengaja menjatuhkan guci yang ada di kamar tersebut.

Dengan kaget Paman langsung menyalakan lampu kamar.

"Mau apa kamu?"

"Em... aku mau...mengambil kunci."

Dengan cepat aku mengambil kunci yang ada di atas meja. Dan aku berlari sekuat tenaga agar bisa kabur dari neraka yang terlihat seperti rumah itu.

"Mah Mamah, bangun Mah Pembantu itu kabur," membangunkan Bibi.

"Ada apa sih Pah?" masih setengah sadar.

"Pembantu itu kabur."

"Apa?"
"Iya pembantu itu kabur."

"Terus Papa ngapain masih di sini cepetan kejar."

Kondisi rumah yang gelap membuatku tertabrak benda berkali-kali. Paman yang memiliki tenaga lebih besar mampu mengejarku dengan cepat. Dengan sigap Paman mengambil sapu di dekatnya dan melemparkannya ke kakiku. Seketika aku terjatuh dan kakiku berdarah.

"Kamu mau lari kemana ha?" sambil merebut kunci yang ada di tanganku.

"Ampun Tuan."

Paman seakan berubah menjadi iblis. Ia mengambil sapu yang tadinya digunakan untuk melampar ke kakiku. Dan tanpa rasa ampun ia memukuliku berkali-kali.

"Pembantu kurang ajar seperti itu tidak pantas diberi ampun," sahut Bibi yang datang menghampiri kami.

Keadaanku sudah sangat lemas dan tidak berdaya, sehingga tidak dapat mengindar dari pukulan-pukulan Paman.

Paman yang sudah terlihat lelah memukuliku langsung menggelandangku menuju kamar. Ia mengunciku dan berlalu begitu saja.

"Gimana Pah?" tanya Bibi.

"Sudah aku urus."

"Mana kuncinya?"

"Ini, lain kali jangan di taruh sembarangan atau kalu tidak bisa tamat riwayat kita," sambil menyerahkan kunci.

"Iya Pah, tapi sepertinya kita tidak bisa membiarkan pembantu itu keluar kamar lagi."

"Kamu benar, pasti dia akan mencoba melarikan diri lagi dan kita bisa saja lengah."

"Gimana kalu kita panggil Bik Inem lagi? Dan suruh dia saja yang mengerjakan pekerjaan rumah."

"Baiklah, besok akan aku panggil."

"Supaya lebih aman kita pindahkan saja kamar pembantu itu ke gudang dekat toilet yang ada di bawah."

"Aku setuju, tapi kita bahas besok saja ya Mah, Papah sudah ngantuk."

"Iya."
     

Sahabatku Istri SuamikuWhere stories live. Discover now