10. Kecewa

11.8K 421 1
                                    

"Kenapa kecewa dan iri seakan menjadi penyakit hati yang bekerja seperti cancer yang berbahaya dan mudah sekali menyebar?"

"Mas aku ikut Hafsya duduk di belakang saja ya?"

"Iya"

Mas? Apa pria itu adalah kakak Sonia? Jika benar, pantas saja, mereka sama-sama tampan dan juga cantik. Sama-sama sholeh dan sholihah pula. Pasti orang tuanya sangat beruntung memiliki anak-anak seperti mereka.

"Oh iya Mas, aku hampir saja lupa. Kenalin ini Hafsya dan Hafsya kenalin ini Mas Ilyas suami aku."

"Senang bertemu denganmu Hafsya," jawab Ilyas dengan ramah.

Suami, jadi Ilyas adalah suami Sonia? Ah, aku jadi heran dengan hatiku saat ini. Kenapa tiba-tiba ada sebersit rasa kecewa di hatiku? Apa yang sebenarnya aku harapkan? Seorang pangeran? Aku kembali terjebak antara dunia fiksi dan dunia nyataku. Pangeran ternyata sudah memiliki permaisuri. Tapi sebentar deh, kenapa aku jadi nganggap Ilyas adalah pangeran ku? Dasar tidak tahu diuntung. Masih baik Sonia mau membantuku, kenapa aku malah menusuknya dari belakang. Astagfirullah. Walaupun tidak bisa aku pungkiri, bahwa pertama kali aku melihat Ilyas aku merasa ingin selalu hidup dalam dunia nyata bukan dunia fiksiku lagi. Ya tapi apa boleh dibuat aku harus sadar diri bahwa aku dibawa hanya untuk menjadi seorang pembantu bukan seorang ratu.

Ah, kenapa penyakit hati ini hadir secara tiba-tiba? Aku sama sekali tidak berniat untuk mengundangnya apalagi menerimanya menjadi tamu di hatiku. Dasar manusia tidak tahu diri, umpatku pada diri sendiri.

"Hafsya, kenapa? Kok ngelamun?"

"Astagfirullah, nggak kok. Saya juga senang bertemu dengan Tuan Ilyas," jawabku sambil menunduk.

Ya inilah kondisiku. Kini mereka berdua saling melempar senyum disertai dengan tatapan penuh cinta. Sedangkan aku? Aku hanya bisa pasrah ketika penyakit di hatiku mulai mengadu domba diriku dengan perasaanku.

Selama di perjalanan aku habiskan waktuku untuk melanjutkan lamunanku. Hingga tidak terasa waktu berjalan begitu cepat. Kami sampai di rumah Sonia dan Ilyas tepat pada pukul 19.00.

"Hafsya kita sudah sampai," sambil memegang lembut tanganku.

"I iya," aduh ketahuan lagi deh kalau sedang melamun, huh.

Ilyas segera turun untuk membukakan pintu untuk kami. Dan dilanjut dengan membawakan barang-barangku untuk dibawa ke dalam rumah.

"Eh tidak usah Tuan biar saya saja."

"Sudah tidak papa. Sayang kamu ajak Hafsya istirahat ke dalam ya."

"Iya, ayuk Hafsya kita masuk."

Aku memasuki rumah yang bisa terbilang sederhana jika dibandingkan dengan rumahku. Tapi aku menemukan kedamaian di dalamnya. Barang-barang tertata rapi pada tempatnya. Bersih dan harum, membuat siapapun tak ingin keluar dari surga kecil ini.

"Assalamualaikum," ucap Sonia.

Kenapa mengucap salam? Apa ada orang lain di rumah ini?

"Hafsya, maaf ya rumah kami tidak sebesar rumah mu."

"Tapi aku menemukan surga di dalamnya," jawabku disertai senyuman.

"Tapi kamu beneran tidak papakan?"

"Sonia, aku bukan tuan putri yang harus tinggal di istana. Aku ini hanya pembantumu."

"Pembantu?"

"Iya pembantu, bukankah Tuan Ilyas membawaku kemari untuk menjadi pembantu kalian?"

"Kenapa kamu berpikiran seperti itu?" Sahut Ilyas yang baru saja kembali dari menaruh barang-barangku.

"Tadikan waktu Tuan Ilyas memintaku dari Paman Tuan bilang untuk dijadikan pembantu?"

"Tadinya, tapi sepertinya istriku lebih suka menjadikanmu sahabat daripada pembantu."

Andai aku juga mempunyai suami yang pengertian seperti Ilyas. Ah, aku hanya bermimpi.

"Benar Hafsya, jadilah sahabatku bukan pembantuku," ucap Sonia dengan senyum yang tulus.

"Terima kasih."

"Dalam persahabatan tidak ada kata maaf maupun terima kasih."

Aku hanya tersenyum mendengar perkataan Hafsya yang begitu tulus.

"Oh ya Hafsya," ucap Ilyas yang mampu membuat jantungku berdebar kencang.

"Ada apa Tuan."

"Kamu panggil aku Ilyas saja ya."

"Baik Tuan, eh Ilyas."

Sumpah, aku seperti orang gila yang mempunyai rasa gede rasa yang tinggi. Baru saja diajak ngomong sama kaum Adam yang satu ini sudah membuat jantungku berdebar kencang. Tapi sepertinya aku harus menepis semua perasaanku agar tidak menyesal di kemudian hari.

"Aku antar kamu ke kamar ya," tawar Sonia.

Aku hanya bisa mengangguk dan menunduk. Jika perasaanku hadir karena pandangan, maka aku harus bisa mengakhirinya dengan pandangan pula. Dan aku yakin aku bisa, janjiku pada diri sendiri.

Saat Sonia mengantarku aku melihat sebuah kamar dimana ruangannya serba putih, persis seperti kamar putri khayalanku. Dan tanpa aku sadari aku berhenti dan memperhatikannya terlalu lama.

"Kenapa Hafsya?"

"Oh tidak, tidak papa," elakku.

"Kamu menginginkan kamar ini?"

"Tidak kok," bohong.

"Kalau kamu menginginkannya, aku sama Mas Ilyas bisa pindah ke kamar lain."

"Tidak, aku tidak pantas tidur di tempat bersih itu."

"Tapi matamu mengatakan kalau kamu menginginkannya."

Apa? Bagaimana Sonia bisa tahu? Apa jangan-jangan dia juga tahu kalau aku...

Kini tangan Sonia menggandengku untuk masuk kamar itu dan mendudukkanku di ranjangnya. Aku hanya bisa bengong melihat tingkah Sonia. Kenapa ada manusia sebaik itu ya? Andai aku bisa sebaik dan seberuntung dirinya, khayalku.

Kini dengan cekatan Sonia mengeluarkan barang-barang Ilyas dan juga barang-barangnya. Sungguh aku mersasa sangat bersalah dengan sikapku tadi. Harusnya aku tidak berhenti di depan kamar ini. Dasar bodoh, umpatku pada diri sendiri.

"Nah Hafsya kini kamar ini menjadi milikmu, barang-barang pribadimu juga sudah aku tata dengan rapi. Semoga kamu suka kanarnya ya."

"Maaf"

"Loh? Kok malah minta maaf?"

"Karena aku sudah merebut sesuatu darimu."

Kini dia hanya tersenyum padaku sambil mendekatiku dan kemudian memelukku.

"Jangan pernah katakan kata itu lagi ya."

Ah, sungguh kutemukan bidadari dalam dirimu. Dan semoga aku tidak merebut banyak darimu.

Sahabatku Istri SuamikuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang