27. Adegan Romantis Sonia dan Ilyas

8.3K 314 0
                                    

"Jika ada sesuatu yang indah di dunia ini, maka wanita shalehahlah jawabannya."

"Aku bereskan piring ini dulu ya?" ucapku setelah kami selesai makan malam.

"Iya," jawab Ilyas.

"Aku bantu ya Hafsya?" tawar Sonia.

"Nggak usah biar aku saja, lagian cuma sedikit kok," tolakku dengan halus.

"Oh ya sudah, tapi nggak papakan?"

"Iya Sonia."

"Hafsya," panggilnya lagi.

"Iya?"

"Terima kasih."

Aku dan Ilyas tersenyum melihat tingkah Sonia yang merasa tidak enak padaku. Padahal aku sudah terbiasa melakukan hal ini bahkan sebelum aku dan Ilyas menikah.

"Sama-sama," jawabku dengan senyuman lalu berlalu untuk pergi.

Aku kembali menuju dapur untuk membersihkan piring bekas makan kami. Seperti biasanya aku dan Sonia terbiasa langsung membersihkannya agar tidak terlalu menumpuk. Jika tidak dibiasakan seperti itu pasti akan ada banyak piring yang harus dicuci dan jika sudah banyak pasti akan timbul rasa malas untuk membersihkannya.

Seusainya aku dari berberes, aku memutuskan untuk kembali ke ruang makan. Namun langkahku terhenti saat tak sengaja mendengarkan percakapan Sonia dan Ilyas.

"Mas?"

"Iya, ada apa sayang?" menghentikan aktivitas membaca korannya.

"Apa aku boleh meminta sesuatu?"

Ilyas menarik kursinya agar lebih dekat dengan tubuh Sonia, "Tentu saja bidadariku, katakan apa yang kamu inginkan?"

"Aku ingin malam ini kamu tidur di kamar Hafsya," ucapnya dengan pelan, namun masih dapat ku dengar.

Ilyas tidak menjawab melainkan langsung memalingkan wajahnya. Walau samar aku masih bisa melihat matanya yang mengeluarkan cairan bening yang berupa airmata.

Aku rasa Ilyas tidak ingin Sonia mengatahuinya. Sehingga saat ia akan memalingkan wajahnya ke arah Sonia lagi, ia terlebih dahulu menghapus airmatanya dan memasang senyum seakan dia baik-baik saja.

Ilyas menatap Sonia penuh cinta dan keteduhan. Dengan lembut ia menangkup wajah istri tercintanya, hingga tatapannya mampu meruntuhkan pertahanan Sonia. Perasaan Sonia yang sedari tadi ia berusaha menguasainya kini sudah tak bisa dikendalikannya lagi. Tatapan teduh Ilyas mampu membuatnya merusak pertahanannya sendiri. Sehingga air matanya jatuh tak berselang.

Sonia yang sudah tak tahan lagi langsung memeluk tubuh Ilyas dengan erat. Tanpa aku sadari airmataku sendiri pun ikut membasahi pipi. Sungguh aku tidak sanggup jika harus menjadi penghalang diantara dua insan yang saling mencintai ini.

Mereka berpelukan cukup lama. Dan kali ini aku juga melihat airmata Ilyas yang juga jatuh tak kalah derasnya dengan Sonia.Dengan nada yang masih terisak Ilyas mulai alngkat bicara.

"Kamu tidak pandai berbohong sayang, tidak, kamu sama sekali tidak pandai berbohong."

"Lalu bagaimana denganmu Mas? Kamu juga membohongi dirimu sendiri bukan?" menarik tubuhnya dari pelukan Ilyas dan menatapnya penuh dengan tanya.

Ilyas tidak menjawab pertanyaan Sonia melainkan kembali memeluk tubuh istrinya seakan tak pernah ingin melepaskannya.

Aku yang sedari tadi berdiri memerhatikan mereka dengan linangan airmata kini mulai sadar. Ternyata dibalik ketenangan mereka terselip badai di hati mereka. Aku akui sungguh hebat cara mereka menyimpannya. Pasti mereka melakukan hal itu agar perasaanku tidak terluka. Dan agar aku tidak lagi merasa menjadi orang ketiga.

Sungguh semua permainan takdir ini begitu menekan perasaanku. Tapi aku tidak ingin menyerah begitu saja. Jika mereka saja mampu kuat dan bertahan menghadapinya, maka aku pun harus bisa lebih sabar dan qanaah lagi dalam menjalaninya. Ucapku dalam hati.

Kini mereka melepas pelukannya dan menghapus airmata mereka masing-masing. Begitu pun denganku yang juga menghapus airmataku yang membasahi pipi agar juga terlihat baik-baik saja.

"Sayang kita bahas ini nanti saja ya? Takutnya kalau nanti Hafsya tiba-tiba datang dan pasti dia juga akan merasa sedih," ucapnya setelah dirasa airmatanya sudah tidak mau menetes lagi.

"Iya, tapi aku mohon pertimbangkan lagi permintaanku tadi ya, karena apa pun keadaannya itu adalah hak Hafsya. Dan aku juga tidak mau jika nanti Allah marah pada Mas karena tidak bisa melaksanakan kewajiban Mas Ilyas dengan baik. Karena aku ingin kita bertiga nanti akan menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, wa rahmah hingga kita bertiga bisa berkumpul bersama di surga nanti."

"Terima kasih ya sayang sudah mengingatkanku, kamu mememang bidadari surga dunia dan akhiratku," memegang lembut pipi Sonia.

Sonia tersenyum bahagia mendengar perkataan Ilyas. Senyumnya yang mengembang seakan menjadi tanda hilangnya duka lara. Mata merahnya kini berganti menjadi mata yang indah dan yang mampu membawa siapa pun larut dalam pandangannya.

Masih dengan senyum yang merekah di bibir indahnya, Sonia meraih tangan Ilyas yang berada di pipinya dan mencium telapak tangan Ilyas dengan lembut. Sungguh adegan romantis mereka mampu membuat seluruh bidadari di langit merasa cemburu dibuatnya.

Setelah mereka kembali ke tempat duduk mereka semula, aku mulai melangkahkan kakiku dengan senyum yang menghiasi wajah.

Senyum yang awalnya hanya menjadi topeng kini telah berhasil membentuk dirinya agar benar-benar menjadi senyuman bahagia. Adegan romantis Sonia dan Ilyas mampu membuatku senyum-senyum sendiri di dalam hati. Sungguh kini aku mengakui bahwa tiada yang lebih berharga dan lebih indah selain istri yang shalehah.

"Sudah selesai Hafsya?" tanya Sonia yang tidak tahu kalau aku dari tadi mengawasi dirinya dengan Ilyas dari kejauhan.

"Iya, aku ke kamar dulu ya, sudah ngantuk."

"Iya."

"Hafsya," panggil Ilyas saat aku sudah mulai melangkahkan kakiku.

"Iya?" berhenti dan membalikan badan.

"Kamu sudah sholat?"

"Alhandulillah sudah."

"O, kalau gitu kamu langsung istirahat saja ya. Hari ini pasti kamu kelelahan, karena aku perhatikan dari pagi kamu belum istirahat sama sekali."

"Iya. Kalau gitu aku masuk kamar dulu ya?"

"Iya."

Kali ini aku benar-benar berhasil melangkahkan kakiku hingga sampai ke kamar. Dengan tubuh yang sangat lelah aku mulai menuju ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Ya, inilah kebiasaanku sebelum tidur. Sonia bilang sebaik-baik wanita yang merias dirinya adalah wanita yang selalu meriasi dirinya dengan air wudhu. Dan aku mencoba sebaik mungkin untuk mengamalkannya.

Seusainya aku dari kamar mandi aku kembali teringat akan percakapan Sonia dan Ilyas. Terbesit di benakku akan sebuah pertannyaan. Apa Ilyas nanti benar-benar akan ke kamarku? Namun aku segera memendam dalam-dalam pertanyaan itu agar tidak berhasil memunculkan harapan palsu lagi padaku.

Aku mulai mematikan lampu dan mencoba sekuat tenaga agar bisa memejamkan mata. Kantuk yang tadinya menyerangku kini sirna entah kemana. Bayang-bayang percakapan Sonia dan Ilyas terus saja hadir saat aku mulai mencoba berusaha untuk memejamkan mata.

Aku kembali menyalakan lampu kamarku lagi. Karena usahaku untuk tidur berkali-kali gagal, kini aku mencari hal lain untuk bisa aku kerjakan. Aku menengok ke meja samping ranjangku dan kudapati sebuah Al-Qur'an yang mampu memunculkan sebuah keinginan. Kenapa aku tidak membaca Al-Qur'an saja? Pikirku.

Dengan kondisi yang masih suci dan berjilbab aku mengambil Al-Qur'an tersebut untuk aku baca. Dengan suara yang lirih aku membacanya dengan menggunakan tajwid sebaik mungkin. Hingga tidak terasa kini sepuluh ayat telah ku dapat dan perasaanku menjadi jauh lebih tenang.

Sahabatku Istri SuamikuWhere stories live. Discover now