38. Hadirnya Malaikat Kecil

8.1K 302 22
                                    

"Jika kata orang menangis merupakan wujud dari kelemahan, maka bagiku menangis adalah tanda seseorang tersebut memiliki hati."

"Hafsya," teriak dua orang dari kejauhan.

Akhirnya seorang pria dan seorang wanita tersebut segera berlari menuju tubuhku yang tergeletak tak sadarkan diri di antara butiran pasir yang telah berhasil menampung tubuh lemahku. Pria dan wanita tersebut tak lain adalah Mas Ilyas dan Sonia. Senyum yang tadinya menghiasi wajah mereka kini berganti dengan kepanikan yang tak bisa mereka sembunyikan. Bahkan suasana yang tadinya penuh dengan kegembiraan kini telah berganti dengan kekhawatiran yang sangat menegangkan.

Karena kepanikan yang luar biasa, Mas Ilyas segera membopong tubuh lemahku itu ke dalam mobil. Sedangkan Sonia yang sudah siap berada di sana, segera meletakkan kepalaku di pangkuannya. Dengan airmata yang tak henti-hentinya menetes ia terus saja memanggil-manggil namaku tanpa henti.

"Hafsya, bangun Hafsya. Aku mohon. Ada apa denganmu?"

"Sayang kamu tenang ya, sebentar lagi kita sampai di rumah sakit terdekat. Jadi kamu jangan terlalu khawatir lagi ya," hibur Ilyas pada Sonia.

"Cepetan Mas, aku nggak mau kalau Hafsya sampai kenapa-kenapa."

"Iya sayang, ini sebentar lagi sudah sampai."

Dan ternyata benar yang dikatakan Mas Ilyas, tak lama kemudian akhirnya mobil kami telah berhasil memasuki area rumah sakit tanpa mengalami kendala apa pun. Akhirnya dengan gerak yang sangat cepat para perawat yang ada di rumah sakit tersebut segera menjemput tubuhku dengan dibantu oleh Mas Ilyas dan Sonia untuk mengantarkanku ke dalam sebuah ruangan yang berwarna serba putih.

"Maaf, silahkan Anda tunggu di luar," pinta dokter tersebut yang akhirnya kami tahu bahwa ia bernama dokter Aishe Fatma.

"Iya dok, tolong lakukan yang terbaik untuk istri saya."

"Pasti, insya Allah kami akan melakukan semua yang terbaik untuk istri Anda. Saya permisi dulu," memasukki kamar tempatku saat ini berada.

Sementara itu, saat Mas Ilyas berada dalam kepanikkan ia tetap bisa mengusai diri agar dapat tetap terlihat tegar. Bahkan ia pun tak henti-hentinya menghibur Sonia yang masih juga menangis karena terlalu mengkhawatirkan keadaan diriku.

"Sayang kamu jangan nangis terus ya, kan Hafaya sudah dirawat oleh dokter Aishe. Insya Allah semua akan baik-baik saja," ucapnya dengan setegar mungkin.

"Tapi kenapa Hafsya tadi bisa pingsan sih Mas?"

"Aku juga nggak tahu sayang. Lebih baik sekarang kita berdoa saja dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Insya Allah, Allah akan menjaga Hafsya untuk kita."

"Kamu benar Mas, menangis sama sekali tidak bisa merubah apa pun."

Mas Ilyas tersenyum sebentar dan segera memeluk Sonia untuk menenangkannya. Namun pelukkan tersebut segera ia lepaskan setelah mereka mendengar pintu yang dibuka dari dalam ruangan.

"Gimana dok keadaan istri saya?" menghampiri dokter Aishe yang baru saja keluar dari ruangan tersebut.

Jauh berbeda dengan yang Mas Ilyas bayangkan, dokter Aishe malah tersenyum ketika akan menjawab pertanyaan darinya, "Anda tidak usah khawatir karena istri Anda hanya sedang kecapekan saja, dan saya juga mempunyai kabar gembira untuk Anda."

"Kabar gembira apa itu dok?" tanya Sonia dan Mas Ilyas penasaran.

"Istri Anda saat ini sedang hamil, saya ucapkan selamat ya atas kehamilan istri Anda."

"Apa? Apa itu benar dok?" tanya Mas Ilyas tak percaya.

"Iya, istri Anda saat ini sedang hamil. Dan saya sarankan agar Anda harus bisa lebih menjaga kesehatannya lagi. Jangan biarkan ia beraktivitas yang berat-berat untuk sementara waktu, takutnya ia akan kembali mengalami kecapekan lagi."

"Iya dok, saya akan berusaha menjaganya sebaik mungkin. Terima kasih ya dok."

"Sama-sama," berlalu meninggalkan Sonia dan Mas Ilyas.

"Alhamdulillahirabilalamin Ya Allah," ucap mereka hampir bersamaan.

Tangis kesedihan yang tadinya hinggap kini berganti dengan tangisan kebahagiaan yang bercampur dengan senyuman yang menghiasi kedua wajah mereka. Dengan penuh haru kini mereka berpelukkan seakan kebahagiaan di seluruh dunia ini telah jatuh ke tangan mereka dengan sekejap mata.

"Alhamdulillahirabilalamin, sayang ternyata Allah telah mengabulkan doa kita,"

ucap Mas Ilyas saat berada di pelukkan Sonia.

"Iya, Alhamdulillahirabilalamin Ya Allah," melepaskan pelukkannya dari tubuh Mas Ilyas, "Sekarang lebih baik kita segera menemui Hafsya, pasti ia akan sangat bahagia jika mendengar kabar ini," ucapnya penuh kebahagiaan yang tak bisa ia sembunyikan.

"Iya kamu benar, pasti Hafsya sangat bahagia mendengar akan hal ini."

Dengan menggandeng tangan Sonia, Mas Ilyas mulai membuka pintu dimana diriku saat ini di rawat. Senyum mereka yang seakan tak bisa lepas terus mengiasi wajahnya yang begitu terlihat lebih berseri-seri.

"Assalamualaikum, Hafsya," ucap mereka saat memasukki kamar sementaraku.

Tak ada jawaban.

"Mas, Hafsya kok nggak jawab salam kita. Apa dia belum sadar?"

Mas Ilyas membuang nafas beratnya, "Sepertinya belum sayang. Tapi kamu jangan khawatir, kan tadi dokter Aishe bilang Hafsya hanya kecapekan saja."

"Iya, semoga Hafsya cepat sadar ya Mas."

"Amin."

Dengan sayu aku mendengar setiap ucapan dari seseorang yang suaranya sangat bisa ku kenali. Hingga pada akhirnya kini sedikit demi sedikit aku mulai bisa menggerakkan jari-jariku yang terasa begitu susah untuk aku gerakkan. Walau sangat sulit, namun aku terus mencobanya hingga kini aku berada di titik yang mana aku sudah mulai bisa mengerjap-ngerjapkan mataku yang sedikit buram karena terlalu lama tertutup.

"Mas Ilyas lihat, Hafsya kelihatannya sudah mulai siuman," ucapnya saat tahu reaksi yang aku tunjukkan.

"Sepertinya kamu benar sayang," menghampiriku dan memegang lembut tanganku, "Hafsya bangun bidadariku, kasihan malaikat kecil kita, pasti ia ikut sedih jika melihatmu seperti ini."

Ketika mendengar perkataan Mas Ilyas tadi, entah bagaima aku merasa memiliki semangat baru untuk segera bisa sadar dari pingsanku. Dengan usaha yang sangat sulit kini aku telah benar-benar berhasil membuka mataku dengan sempurna.

"Hafsya kamu sudah sadar?"

Aku hanya bisa tersenyum lemah untuk menjawabnya. Hingga aku pun terpikir akan satu sosok lagi yang juga sangat aku sayangi. Sehingga dengan sangat sulit aku memaksakan diri untuk segera mengedarkan padanganku agar bisa menangkap sosok dirinya.

"Sonia," panggilku saat sudah ku temukan sosok tersebut.

"Iya," tersenyum berhias tangis kepadaku.

"Jangan menagis lagi ya, lihat sekarang aku sudah sadarkan," tersenyum lemah kepadanya.

"Iya, aku tidak akan menagis lagi. Tapi kamu cepat sembuh ya."

"Insya Allah," kini pandanganku kembali beralih ke arah sosok yang saat ini masih setia memegang lembut tanganku, "Mas Ilyas, apa yang kamu katakan tadi itu benar adanya?"

"Iya sayang, itu benar."

"Apa artinya..."

"Iya, segala puji bagi Allah saat ini kamu sedang mengandung malaikat kecil kita."

"Alhamdulillahirabilalamin Ya Allah," ucapku sambil memejamkan mata.

Dan tanpa aku sadari satu tetes cairan bening kini telah berhasil lolos melewati sudut mataku dengan bebas. Kini di ruangan tanpa adanya corak tersebut kami telah sukses menghiasinya dengan deraian airmata haru dan juga kebahagiaan yang disertai dengan rasa syukur yang tak terhingga. Alhamdulillahirabilalamin Ya Allah, ucapku lagi yang kuulang berkali-kali di dalam hati.

Sahabatku Istri SuamikuWhere stories live. Discover now