07. Empat Tahun Kemudian

13.7K 496 10
                                    

"Waktu, satu-satunya sesuatu yang tak bisa dikendalikan dan dibeli oleh manusia."

Detik berganti menit, menit berganti jam, jam berganti hari, hari menjadi minggu, minggu menjadi bulan, bulan menjadi tahun. Empat tahun telah berlalu, namun bagiku terasa seperti empat abad lamanya.

Kini dongeng tentang putri dan pangeran sudah berakhir. Karena sekarang sang putri yang buruk rupa mengubah cara sudut pandangnya. Kisah cinta hanyalah untuk seorang putri yang cantik bukan putri yang buruk rupa dan miskin. Kini kisahku hanyalah seorang putri yang menghabiskan hari-harinya di istana ratu jahat tanpa pernah keluar seumur hidup.

Bagaimana kamu bisa tahu kalau empat tahun sudah berlalu? Harusnya kamu tanyakan itu padaku. Aku melihat pergantian hari dari balik jendela dimana gelap menjadi terang. Aku melihat pergantian musim dari balik jendela dimana hujan datang menimpa.

Jika kamu ingin tahu keadaanku saat ini, maka berdirilah di depan jendela. Kau akan tahu apa yang sedang aku lakukan, yaitu persis dengan apa yang kamu lakukan. Bedanya kamu hidup dengan kemerdekaan sedangkan aku hidup dengan berbagai tekanan.

Asyik dengan kegiatan menulisku. Tiba-tiba salam dari Bik Inem membuat kegiatan menulisku aku hentikan.

"Assalamualaikum Neng cantik."

Aku hanya tersenyum.

"Neng ini makan malamnya, tolong dimakan ya. Maaf Bibi nggak bisa lama karena sedang ada tamu."

Bik Inem meletakkan makananku dan segera keluar kamar. Apa yang datang pangeran berkuda putih yang selama ini aku impikan? Ah tidak mungkin, terakhir kali empat tahun yang lalu aku mencoba menerapkan dunia fiksiku ke dunia nyata berakhir sangat buruk. Aku tidak ingin mengulangi kesalahan yang sama, yang mungkin saja akan berakhir lebih buruk.

Aku menatap makanan yang sendari tadi aku campakkan. Tak disangka air mataku menetes saat melihat makanan yang ada di depanku. Segumpal nasi yang diletakkan di selembar daun pisang. Itulah menu makan malamku. Aku yakin ini saja Bik Inem sudah bekerja keras untuk mendapatkannya untukku.

Di tengah isak tangisku aku mendengar derap kaki yang semakin mendekat ke arah kamarku. Tapi aku sama sekali tidak memperdulikannya. Rasa sakit di hatiku memaksaku terus menangis tanpa henti.

"Assalamualaikum," sambil membuka pintu.

Aku hanya mendongak dengan keadaanku yang sangat menyedihkan.

"Wahai ukhti kenapa kamu menangis?"

Aku masih tetap diam, dengan lekat-lekat aku pandangi wajah seorang wanita yang ada di depanku. Wajahnya sangat putih bersih terpampang seulas senyum di bibirnya. Pandangan yang teduh dan juga penuh kasih terlihat jelas olehku.

Aku terlalu larut dalam kekaguman yang saat ini menguasai duriku hingga tanpa sengaja aku menumpahkan nasi yang aku pegang.

Saat itu aku sama sekali tidak tahu. Apakah ini adalah malaikat yang dikirim Tuhan untukku? Ataukah bidadari yang akan membantuku.

Dengan keadaanku yang masih tetap diam, ia mengambil nasi yang aku tumpahkan dan membersihkannya. Setelah itu ia mengambil nasi yang masih ada di daun pisang dan menyuapiku dengan sangat lembut.

Tanpa aku sadari airmataku menetes dan dengan sepontan aku langsung memeluknya. Iapun membalas pelukkanku dengan hangat.

"Katakan ukhti, siapa namamu?" sambil melepaskan pelukkannya.

"Nama?" bahkan saat itu aku hampir saja lupa dengan namaku.

"Iya namamu, apa kau tidak punya nama?"

Sahabatku Istri SuamikuWhere stories live. Discover now