11 | Selangkah Lebih Dekat

Mulai dari awal
                                    

Ada rasa terusik ketika nama Radif dibawa dalam obrolan ini, aku menaikkan wajah, kemudian menepis tangan Airyn dari bahuku, membuatnya terkesiap. "Demi Neptunus, Mahesa itu calon tunangan sahabat gue. Terserah kalian mau mikir apa, gue gak peduli lagi."

Kalani menepuk lenganku. "Lun," katanya.

"Apa? Lo masih mau nanya gue baper apa nggak sama Mahesa? Jawabannya gak, big no! Gue cuma mau kuliah dengan tenang, bahkan gue gak nagih kamera gue yang rusak sama Mahesa karena gue gak mau berurusan lagi sama dia. Jelas?" Aku terengah-engah menyelesaikan kalimatku, kemudian kebingungan karena mendapati Airyn dan Kalani membisu di tempatnya berdiri. Apakah aku terlalu kasar?

"Jelas." Suara itu... suara itu? "Tapi sayangnya, gue gak berniat bikin lo kuliah dengan tenang."

Benar saja, ketika aku menoleh, Mahesa berdiri tak kurang dari semeter di belakangku. Ia memakai parka yang sama dengan yang dipakainya di Paris, dan jangan lupakan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya itu. Astaga, ia kira ini dimana? Pantai? Aku nyaris menepuk dahi, sementara Airyn dan Kalani sibuk terkikik.

"Halo, Ryn. Halo juga, cantik." Mahesa menghampiri kami, setelah menyapa Airyn yang ditanggapi dengan anggukan singkat, pandangan Mahesa jatuh pada Kalani. Aku mendecih, dasar sok ganteng!

"Jangan godain teman gue!" Aku merentangkan tangan di depan Kalani, menghalangi Mahesa. "Dia udah punya pacar," lanjutku.

Mahesa mengangguk seraya melepaskan kacamatanya, menaruhnya di atas kepala. Aku masih merentangkan tangan ketika ia membungkuk untuk menyejajarkan wajahnya dengan wajahku. Kami bertatapan, lama. "Kalau lo, udah punya pacar?" tanyanya, lengkap dengan senyuman miring seperti biasa.

Aku mendelik, beruntung selasar kampus sudah tak seramai tadi, jadi aku tak perlu repot-repot menjaga citraku sebagai mahasiswa baru.

"Gak lucu."

"Hm? Emang. Yang lucu kan lo."

Airyn dan Kalani terkekeh di belakang mendengar omongan Mahesa. Aku menghela napas lagi. "Kali ini lo mau apa?"

Mahesa menjauhkan wajahnya, tak langsung menjawab. Jarinya mengetuk-ngetuk dagu, aku yakin ia hanya pura-pura berpikir. "Beli kamera?" Mulutku segera menganga mendengar tawarannya itu. "Lo mau beli berapa biji? Gue cuma bawa cash, tapi cukuplah buat beli sepuluh." Tawanya melambung sebelum aku sempat merespon apapun. Ingin sekali rasanya aku menggaruk wajah tengil orang ini.

"Bukannya lo dengar tadi, gue gak mau kamera, gue mau kuliah dengan tenang." Itu yang kuberitahu padanya agar berhenti menggangguku. Tapi, ia hanya menggeleng acuh tak acuh.

"Itu tujuan gue ngajak beli kamera, Lun."

Aku memutar mata dan baru saja akan membuka mulut saat Airyn bersuara lebih dulu. Padaku, ia berbisik. "Silahkan bermesraan, lo bisa cerita kelanjutannya ke gue kapan-kapan." Tangannya bergerak untuk mencolek pinggangku, membuatku terlonjak kaget. Sementara pada Mahesa, ia hanya menaik-turunkan alisnya berulang, seperti memberi pesan rahasia yang tak kuketahui. Airyn dan Kalani berlalu meninggalkan kami berdua, dari jauh aku dapat melihat mereka berbincang asik sekali―kurasa telingaku panas.

"Jadi?" Mahesa kembali mendekatkan wajahnya.

"Lo nyosor-nyosor sekali lagi gue lempar pakai batu bata ya, sumpah."

Ia mengerutkan hidungnya, namun tetap menyunggingkan senyum. "Galak banget, Nyai." Mendapatiku hanya berdecih entah untuk keberapa kalinya sejak lima menit terakhir, ia akhirnya menyerah. "Jadi, mau gak beli kamera?" tawarnya lagi.

Aku menggeleng cepat.

"Oke, sorry buat bercandaan gue dan kejadian kemarin. Tapi, kali ini gue serius mau ganti kamera lo. Gue udah janji waktu di hotel, kan? Malam sebelum gue pulang itu. Gue juga pernah bilang kalau kita bakal ketemu lagi, dan sekarang kita ketemu. Gue gak punya alasan buat gak ganti kamera lo, Lun." Mahesa menghela napas, wajahnya memelas seperti yang sering kulihat selama di Paris. Aku lebih menyukai sosoknya yang tak berdaya begini, lebih tentram.

Bitter and Sweet, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang