1 | Suara Dari Radio

2.6K 314 205
                                    

CHAPTER 1: Suara Dari Radio

"Today is a good day to try again."
― Quasimodo

"Oke, sebelum gue play lagu berikutnya yang udah ditunggu-tunggu banget sama kalian para kaum jomblo terjebak friendzone. Wadaw, gue ngomong gini sambil colek diri sendiri ini sebenarnya. Ha. Ha. Ha. "

Aku reflek mengernyit dan memandang aneh pada kotak radio di atas meja nakas. Akhir-akhir ini, aku sering mendengarkan radio kampus―hitung-hitung sebagai perkenalan dengan kampus baruku, namun aku baru sadar bahwa penyiar radio yang satu ini memiliki lelucon yang buruk.

"Nggak, nggak, gue gak jomblo lagi. Gue mau tunangan, asik! Dadah kalian jomblo, jangan kangen sama gue yang ganteng ini, ya." Di ujung sana, penyiar radio tersebut tertawa lagi sebelum penyiar yang lain mengambil alih pembicaraan.

"Hoax, kawan-kawan. Mohon akang Mahes, kalau berkhayal jangan ketinggian."

"Maaf juga nih, Bro." Penyiar radio itu menjeda kalimatnya. "No hoax-hoax club, sih, ya gue mah. Ntar, gue sebar undangan buat kalian semua. Sekalian sama mahasiswa baru gue undang kalau perlu." Untuk beberapa detik berikutnya, gelak tawa mereka adalah apa yang kudengar dari kubus tua berwarna coklat itu.

"Ah iya, ngomongin mahasiswa baru, kami sebagai senior mengucapkan selamat datang di kampus impian kalian. Jadilah mahasiswa-mahasiswi yang berprestasi, dan gak nunda-nunda skripsi kayak gue. Astagfirullah, gue baru ingat skripsi gue belum kelar juga."

Mulutku menganga seketika.

"Jangan sebar aib di radio, ini kita on-air, loh."

"Ups, keceplosan. Thanks udah ngingetin gue, Sa. So, gak usah banyak cuap-cuap lagi, ada Secret Love Song nih buat menemani pagi kalian. Selamat menghabiskan masa berlibur, adik-adikku."

Ah, liburan.

Koper di hadapanku sudah setengah terisi. Sambil mendengarkan alunan lagu dari radio, aku mengecek kembali barang-barangku. Dompet, paspor, kamera, apa lagi? Astaga, kamus bahasa Perancis! Hatiku berdesir tak karuan melihat gambar menara Eiffel di sampulnya, ya ampun... ya ampun, aku akan segera meluncur ke kota impianku!

Suasana pagiku yang indah dan tenang ini mendadak hancur berantakan karena suara gebrakan pintu kamarku. Ketika aku menoleh, aku mendapati wajah adikku memelas, ia bersandar di bibir pintu, tangannya mendekap dada. "Kak, gue ikut, please!"

Sudah beberapa hari ini, Arion―adik bungsuku―sering mengatakan hal yang sama. Di dapur, di taman, di kamar, ketika aku menonton TV, ketika aku mandi sekali pun, jika ada kesempatan ia pasti akan merengek.

"Gue punya tabungan, kok. Jadi lo tinggal nambahin sedikit buat beli tiketnya." Ia melanjutkan, kali ini bergerak untuk menarik-narik lengan bajuku. Aish, bocah ingusan ini, aku harus mati-matian menekan hasrat ingin menenggelamkannya di kolam renang. Merasa tidak ditanggapi, Arion merebahkan diri di tempat tidurku.

Aku membulatkan mata. "Bangun gak lo, Babon!" Arion malah merentangkan kedua tangannya, membuatku semakin naik pitam. "Bangun, ish! Itu beha gue kempes ketiban badan lo, Ion!"

Alih-alih menuruti perintahku, Arion malah mengambil benda bulat-bulat itu dari balik badannya, dengan santai melemparnya padaku. Katanya, "Pantesan empuk, gue kira apa."

Melihatku merutuk tertahan, Arion hanya tertawa. Lalu, ia bangkit dan duduk menyila―masih di atas tempat tidurku. "Kak, gue bisa jagain lo di Paris nanti. Jadi, lo tinggal sedekah dikit ke gue supaya gue juga bisa beli tiket dan berangkat sama lo nanti malam. Ayolah, jadilah kakak yang berbakti pada adiknya."

Bitter and Sweet, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang