11 | Selangkah Lebih Dekat

676 141 44
                                    

CHAPTER 11:  Selangkah Lebih Dekat

"Banyak hal yang tak bisa dipaksakan. Tapi layak diberi kesempatan."
― Dee Lestari

Siang itu, setelah upacara penutupan ospek selesai, aku sedang membantu Kalani melepas pita-pita toska di rambutnya ketika Airyn mendekat dengan langkah riang seperti anak kecil―sontak saja segera menarik perhatian mahasiswa baru yang lain, habis Airyn memang dikenal galak dan angkuh―ia menepuk pundakku, menagih sesuatu.

"Lo berhutang cerita sama gue, dan lagi-lagi tentang Mahesa."

Kalani ikut mengangguk. "Iya, semalam nanggung banget ceritanya."

Aku mendecak, sejak aku membeberkan segala yang terjadi padaku dan Mahesa di Paris juga kejadian kemarin, sepertinya Airyn dan Kalani semakin akrab, mereka punya perangai yang sama ternyata; kepo.

"Nanggung apanya, Kal? Udah selesai, kok," jawabku, enggan kembali bercerita panjang lebar, apalagi membicarakan Mahesa, no way!

Airyn memicingkan matanya menatapku. "Serius? Lo dapat tanda tangan Mahesa gitu aja? Jangan bohong sama gue ya, gue ini lebih dulu kenal Mahesa dibanding lo, gue tahu Mahesa gak akan ngasih tanda tangannya segampang itu."

"Ya jelaslah dia ngasih dengan gampang, itu akal-akalan dia doang nyuruh Ssanip ngasih tugas kayak gitu ke gue, biar gue minta tanda tangan dia, Airyn!" Aku memelas, nyaris saja mengacak-ngacak rambut jika aku tidak ingat rambutku memang sudah acak-acakan karena terjemur matahari, dan terimakasih untuk Kalani yang melepas pitaku dengan brutal membuatnya semakin kusut.

"Tuhkan, lo bilang ceritanya udah selesai." Kalani merengut, membuatku menekuk wajah karena merasa bersalah telah berbohong. "Terus, lo gimana?"

Aku membuang napas jengah. "Ya, apalagi? Gue marah dong."

"Itu masalahnya, Lun. Lo gampang marah, sensitif banget, tahu gak? Pantas aja Mahesa suka godain lo, atau lebih tepatnya suka sama lo." Tawa Airyn dan Kalani kemudian memenuhi pendengaranku, aku menggelengkan kepala tak percaya, darimana Airyn bisa menyimpulkan seperti itu? "Mahesa itu emang paling jago bikin orang gak nyaman, tiap ada di dekat dia rasanya gue juga mau meledak mulu. Tapi, well, itu gak bikin sejuta dua ratus dedek gemasnya yang gak pernah sekalipun dia notice jadi musnah, tuh."

Mataku membelalak. "Serius? Orang kayak gitu punya banyak degem?"

"Why not? Mahesa ganteng, pintar, calon dokter, bahkan bokapnya punya perusahaan transportasi. Awal kenal dia juga gue kesemsem, lho. Tapi gue meluluskan diri gak lama setelah gue tahu dia songongnya sampai ke ubun-ubun."

"Nah, itu lo tahu songongnya dia kayak gimana, kan?"

Airyn buru-buru menjawab, kembali memamerkan senyum jahilnya. "Tapi beda, Lun. Songongnya dia ke lo tuh beda, kayak ada manis-manisnya gitu."

Kalani segera terbahak, puas menertawakan kalimat Airyn. Aku memandangi dua orang di hadapanku bergantian, bingung harus bagaimana agar mereka berhenti berspekulasi seenaknya. Aku bercerita seperti ini dengan harapan mereka akan membelaku, nyatanya aku salah, salah besar!

"Lo gak ada rasa deg-degan gitu setiap dekat Mahesa? Masa gak baper?" tanya Kalani, kali ini pertanyaanya bernada serius. Aku diam, sejak dulu, aku bukan tipe orang yang mudah menyembunyikan perasaan. Aku terlalu gamblang, mudah tertebak, dan jika aku tak menyukai sesuatu, aku benar-benar tak menyukainya. Begitu pula yang kurasakan pada setiap perlakuan Mahesa, aku tidak menyukainya, dan mengganggu hidupku seperti ini bukanlah pilihan yang tepat untuk menarik perhatianku.

Aku menggeleng pelan.

Airyn tiba-tiba memegang bahuku, tatapannya tajam. "Lo masih naksir Radif?"

Bitter and Sweet, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang