2 | Bonjour, Paris!

1.4K 229 118
                                    

CHAPTER 2: Bonjour, Paris!

"The flower that blooms in adversity is the more rare and beautiful of all."
― Mulan (The Emperor)

Pesawatku akan berangkat tepat jam sembilan, yang berarti dua puluh menit lagi. Di hadapanku, Mama tersenyum meski raut-raut kekhawatiran di wajahnya itu tak kunjung lenyap sejak aku bilang aku akan berlibur ke Paris sebelum ospek. Ia menyentuh lenganku dengan lembut, membuatku berpikir sikap Mama agak berlebihan.

"Ma, aku kan cuma ke Paris." Aku berusaha menenangkan, padahal rasanya jantungku sendiri akan meledak mengingat tidak ada Radif di sisiku.

"Makanya Mama khawatir, Lun. Kamu itu ke Paris, negeri orang, bahasanya aja kamu gak paham."

Aku mendengus. "Ih, Mama kok tahu aku gak bisa bahasa Perancis?"

Kini, raut wajah Mama berubah semakin cemas. Aku bergerak mundur, takut kalau-kalau Mama nekat menyeretku dari bandara untuk kembali ke rumah. Tidak biasanya Mama khawatir seperti ini, dulu saat aku diasingkan ke Jawa, Mama bahkan tidak berkomentar apa-apa walau tahu aku sering nyasar setiap berangkat ke kampus.

"Kamu hati-hati ya di sana. Ingat, cuma empat hari. Kalau ada apa-apa, langsung telepon. Kamus kamu dibawa? Barang-barang aman, kan? Uang itu dipisah-pisah, biar kalau kecopetan uang kamu gak abis semua."

Aku mengangguk berulang kali untuk mengiyakan semua wejangan Mama. Namun meski aku sudah menuruti semua nasihatnya itu, sorot khawatir di mata Mama tak juga hilang. Aku membuang napas, Mama tak pernah seperti ini sebelumnya.

"Ma, pesawatnya gak akan jatuh, kok." Aku menatap Mama sambil cemberut, melihatnya cemas begini membuatku semakin takut dan kalut sendiri. Aku tidak ingin liburan yang paling kuinginkan ini berubah menjadi serial menegangkan hanya karena aku tak mengantongi restu orangtua. "Aku udah biasa sendirian kemana-mana, waktu aku dibuang ke Jawa aja aku baru tujuh belas tahun dan aku bisa lakuin semuanya sendiri, kan?"

Mama memukul bahuku pelan. "Siapa yang bilang kamu dibuang ke Jawa? Kamu kuliah di sana, sekalian nemenin Oma."

"Iya, itu karena Mama sama Papa kecewa sama aku. Sama aja aku dibuang." Aku mencebikkan muka, perasaan kesal itu menguar-nguar kembali. Aku ingat bagaimana sulitnya tiga tahun di Jawa, menjalani kehidupan yang tidak aku inginkan, mengerjakan tugas dan pergi ke kampus yang tidak pernah terlintas di pikiran.

Tiga tahun lalu, adalah masa paling sulit selama aku hidup. Aku adalah kebanggaan keluarku, Aluna yang pintar, Aluna yang selalu juara kelas, Aluna begini, Aluna begitu. Aku hampir selalu menjadi topik obrolan ketika keluarga besar berkumpul, menjadi panutan untuk sepupu dan adik-adikku. Aku terbiasa menjadi sorotan, meski aku tak terlalu menyukai itu. Karena menurutku, mereka berbohong.

Mereka hanya wajah-wajah dengan topeng dan omongan manis yang memuakkan. Mereka semua―bahkan Mama dan Papa, adalah orang-orang yang membuatku tak lagi percaya pada pujian.

Aku telah mengalami itu, masa di mana ketika hidupmu benar-benar berubah. Masa ketika kau terjatuh, dan semua orang berpaling darimu. Karena itulah yang terjadi padaku ketika kelulusan SMA, nilai-nilaiku turun dengan drastis, dan aku gagal pada ujian masuk universitas negeri.

Tidak ada yang bertanya apakah aku baik-baik saja, atau menepuk pundakku dan berkata bahwa aku telah melakukan yang terbaik. Pujian-pujian yang selama bertahun-tahun itu menggema di telingaku seakan tak ada artinya, mereka memandangku dengan prihatin, dengan senyum yang dipaksakan.

Saat itulah, Mama dan Papa mengirimku ke Jogja dengan dalih menemani Oma yang mulai menua. Aku tahu mereka kecewa, namun apakah mereka sempat berpikir betapa aku membenci diriku sendiri karena aku telah mengecewakan mereka? Yang aku tahu saat itu, aku dibuang. Dan tak lagi percaya pada pujian-pujian mereka, segemilang apapun prestasiku setelahnya, bahkan ketika aku meriah predikat Cum Laude di kampus lamaku.

Bitter and Sweet, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang