4 | Achluophobia

1.1K 187 67
                                    

CHAPTER 4 : Achluophobia

"It's just that i learned a while ago that the best way to get people to like you is not to like them too much."
John Green

Ponselku segera berdering berulang kali setelah terhubung pada wifi hotel. Nama Radif berkedip-kedip di layar, membuatku menoleh sejenak pada sesosok cowok asing yang kini masih bersandar di bibir pintu karena aku belum mengizinkannya masuk.

"Halo, Dif?"

"Gue telepon dari tadi gak aktif, lo gak lupa ganti kartu, kan?" Aku nyaris aja menepuk jidat, kenapa Radif bisa sepintar ini?

"Hng, iya."

"Iya apa?"

"Iya, gue lupa ganti kartu." Samar, aku dapat mendengar kekehan tertahan dari balik punggungku. "Tapi, gue udah nemu wifi kok. Ada wifi di hotel, jadi gue aman."

Di seberang sana, Radif menghela napas panjang. Aku terdiam, menunggunya berbicara. "Gue khawatir, Lun. Gue kira lo kenapa-napa, gue bahkan udah stay di depan tv, nunggu berita."

Aku mengernyit. "Berita apa?"

Ada tawa khas Radif yang tiba-tiba menggelitiki telingaku ketika ia menjawab dengan jenaka. "Berita pesawat hilang."

"Muka lo gebuk pake batu bata nih, ya." Mau tak mau, aku tertawa juga. Entahlah apa yang salah, tapi mendengar tawa Radif detik ini membuatku melupakan masalah yang sedang kuhadapi. Aku mengusap pelan kamera yang setia menggantung di leherku, mendadak sesak mengetahui lagi bahwa lensanya telah pecah. Kamera ini kubeli bersama Radif beberapa tahun lalu, apa yang akan ia katakan ketika tahu kamera yang diberinya nama Piccolo ini sekarang rusak?

"Dif, lo sampai sini kapan?"

"Kayaknya besok sore gue udah di sana, kenapa?"

Kepalaku tertoleh pada Mahesa yang sibuk membuka peta kota Paris yang sejak tadi menjadi peganganku, ia menaikkan alisnya ketika mata kami bertemu, membuatku buru-buru mendelik. "Dengar ini baik-baik, Dif. Besok, kalau lo sampai sini dan nemuin gue udah terbujur kaku gak bernyawa karena dirampok psikopat gila, lo harus cari tahu siapa pembunuh gue, dan jeblosin orang itu ke penjara."

Mahesa menatapku tak percaya, seolah sadar dirinyalah psikopat gila yang kumaksud. Aku mendelik lagi, kemudian kembali melanjutkan wasiatku. "Kalau gue benar-benar mati, lo buka diary gue di dalam lemari, ada sesuatu yang mau gue kasih tahu lewat diary itu."

Radif terdiam cukup lama sebelum berdeham bingung. Dapat kubayangkan kini pasti keningnya berkerut-kerut sempurna. "Lo ngomong apa, sih, Lun?"

"Udah dengar aja omongan gue, oke?"

Mahesa tertawa di tempatnya berdiri, sudut-sudut bibirnya melengkung, untuk sejenak kupikir aku benar-benar telah bertemu psikopat. Aku melotot, memberinya isyarat agar diam, namun tentu saja ia tidak menuruti mauku.

Aku memelas. "Bilangin ke orang tua gue, gue minta maaf karena selama gue hidup gue sering durhaka. Bilangin ke Kak Thala, gue minta maaf sering nyolong baju-baju dia. Bilangin juga sama adek-adek gue, mereka jangan berantem terus nanti gue gak tenang. Dan ini khusus buat Arion, bilang ke dia kalau gue bakal hantuin dia selama empat puluh hari penuh. Dif, lo dengar semuanya, kan?"

"Tunggu, deh." Ia menjeda kalimatnya sebentar, sementara Mahesa di depan sana semakin tergelak. "Gue kayak... dengar ketawa cowok, ada siapa di sana?"

"Dia psikopat gila yang gue bilang tadi. Ceritanya panjang, kalau lo khawatir sama gue, ke sini secepatnya!" Dengan itu, aku memutuskan sambungan telepon. Kulirik tajam Mahesa yang kini tengah sibuk menahan tawa. "Ngapain lo ketawa kayak gitu?"

Bitter and Sweet, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang