3 | Monsieur Mahesa

1.1K 202 75
                                    

CHAPTER 3: Monsieur Mahesa

"Everything will come, exactly as it does."
― Zen Proverb


Eiffel. Langit biru. Gumpalan awan yang terlihat seperti kapas. Rerumputan hijau. Orang-orang dari berbagai negara. Perfect.

Aku sudah kehilangan cara untuk menggambarkan kebahagiaanku. Rasanya, seperti separuh dari diriku melebur bersama angin dan hangatnya musim panas. Hamparan rumput di depanku begitu luas, seakan-akan menarikku untuk segera merebahkan diri di sana sambil menatap Eiffel yang menjulang tinggi.

Aku mengangkat kamera yang baru sempat kukeluarkan selama di kereta bawah tanah tadi―siap membidik menara setinggi lebih dari seribu kaki itu.

"Stop! Arrête!" (Berhenti!)

Sebuah teriakan dari sisi kiriku dan dua orang bertubuh gempal yang berlari terbirit-birit membuat fokusku teralih. Orang-orang berperut buncit yang nampak menyeramkan itu melewatiku dengan panik, sibuk saling mengoper sebuah tas coklat hingga isinya berceceran. Aku baru saja hendak memungut buku tipis yang menurutku terlihat seperti benda penting ketika tanpa diduga bokongku dihantam sesuatu dan aku jatuh secara tidak terhormat.

"Arrête, voleur!" (Berhenti pencuri!)

"Aish...." Aku meringis, masih dalam posisi telungkup. Telapak tanganku tergores, beberapa orang memperhatikanku dan terlihat hendak menolong. Sementara aku sendiri masih tidak paham apa yang sedang terjadi.

"Ils sont des voleurs putains!" (Mereka pencuri sialan!)

Aku mendongak, melirik sekilas pada pria tinggi yang berdiri di sebelahku. Ia mengumpat dalam bahasa Inggris berkali-kali, sejenak menciutkan nyaliku. Akhirnya, aku beringsut untuk berdiri sendiri dan menunda kemarahanku karena orang ini terlihat kesal dan terburu-buru.

"Ça va?" (Apakah kamu baik-baik saja?) Ia sedikit menundukkan wajahnya untuk melihatku. Sementara aku kebingungan, tidak tahu apa yang ia bicarakan dan bagaimana cara menjawabnya. "Are you okay?

Aku buru-buru mengangguk untuk mengisyaratkan aku paham bahasa yang ia gunakan sekarang.

"Is this yours?" Dan tahukah kalian apa yang ia tunjukkan padaku? Demi Neptunus, aku berumpah aku akan mencukur habis rambut laki-laki di hadapanku ini!

"HACRIT! KAMERA GUE!!!" Aku segera merebut kamera di tangannya, lensa kameraku pecah. "Piccolo, maafin Mami. Mami gak bisa jaga kamu, Mami salah―"

Tunggu, ini kan bukan salahku.

Aku mendengus melihat laki-laki di hadapanku ini masih sibuk memperhatikan ke depan, terlihat tengah mencari sesuatu. Ia benar-benar tidak merasa berdosa telah menabrakku dan membuat Piccolo hancur. "Emang ya, manusia-manusia akhir zaman tuh udah salah gak mau minta maaf. Kamera gue jadi begini dan lo cuma nanya are you okay?, jelas gak oke lah lo kira gue beli kamera pakai hasil ngepet apa, hah?"

Ia menatapku sambil menaikkan kedua alisnya.

"What? Why did you see me? Look at my camera. Ini rusak, Bego!"

"Ahh," ia menarik sudut bibirnya―tersenyum miring. "Jadi lo orang Indonesia."

Lututku lemas seketika, dan seandainya mungkin, rahangku pasti sudah jatuh. Apa aku tidak salah dengar? Apakah aku, baru saja mengatai orang Indonesia dengan bahasa Indonesia? Tamatlah harga diriku.

Ma, harusnya kemarin aku cium tangan Mama lebih lama biar dapat barokah, aku membatin.

"Gue minta maaf soal kamera lo, tapi gue buru-buru, tas gue dijambret. Senang ketemu lo, bye!" Apa katanya? Aku benar-benar tidak percaya ia akan meninggalkanku tanpa penyesalan sedikit pun, maka sebelum ia jauh, kulemparkan saja sepatuku ke kepalanya. "Argh! Gila ya, lo?"

Bitter and Sweet, Aren't We?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang