[46] Bucin

303 42 3
                                    

Gue menuntun Sisil kesebuah bangku taman yang panjang. Kami berdua lalu duduk bersama disana. Gue menatap langit yang indah malam ini. Pas banget sama momen tepat. Untung gak hujan, kalau hujan bisa berantakan rencana gue tadi. Gue perhatiakan Sisil memilin kembali ujung hoodienya. Kok suasananya jadi canggung gini ya?

"Sil?" Dia menoleh.

"Saat kita jauh, gue harap lo bisa jaga hati lo buat gue." Berhenti sejenak.

"Karena gue juga akan selalu jaga hati gue buat lo." Sambung gue.

Dia kembali menampilkan senyumnya. "Pasti." Katanya sambil menangguk.

"Gue juga mau kita selalu komunikasi." Timpalnya.

"Gue gak akan lupa buat selalu ngabarin lo." Gue mengusap puncak kepalanya. Rasanya gue gak mau pisah sama dia. Tapi apa boleh buat? Gue harus kerja.

"Ntar kalo gak sibuk gue bakal hubungin lo."

"Sok sibuk amat sih lo." Dia berdecih.

"Gue kan emang orang sibuk."

"Sibuk ngapain?"

"Sibuk mikirin lo." Kata gue seraya berbisik. Sedangkan dia, gue gak bisa mendeskripsikan ekspresinya saat ini.

"Lo jangan lupa sekolah yang bener." Dia mengangguk.

"Jangan kayak gue yang sekolahnya males-malesan. Gue jadi agak susah meraih cita-cita."

"Makanya sekolah itu jangan males-malesan." Weh, punya kalimat juga dia buat jawab.

"Emang apa cita-cita lo?"

"Jadi presiden." Kata gue. Iya, gue dulu waktu SD pengin banget jadi presiden. Karena menurut gue dulu jadi presiden itu hidupnya enak. Punya mobil, makanan enak, baju bagus setiap saat. Tapi ternyata tidak segampang itu Ferguso.

"Gue yakin kalo lo berusaha pasti bakal dapet apa yang lo mau." Ujarnya.

"Kayak usaha gue buat dapetin lo?" Goda gue dengan sebelah alis terangkat.

"Emang lo usaha apa? Yang ada gue yang usaha buat deketin lo tapi lo nya aja yang gak peka. Gue naksir lo udah sejak lama, udah sejak...." Dia tiba-tiba menutup mulutnya.

"Kenapa berhenti, hm? Ayo lanjutin. Lo udah naksir gue sejak kapan?" Dia menggeleng masih dengan tangan yang berada didepan mulutnya.

Mata gue memicing dengan bibir yang sedikit melengkung. "Hm, cinta dalam diam nih?" Dia enggan menjawab.

"Sorry ya kalo gue gak peka. Untuk kedepannya kalo ada apa-apa lo ngomong langsung aja ke gue. Jangan dipendem sendiri atau main kode-kodean ke gue." Dia mengangguk lagi.

Gue menghela napas panjang sambil menyandarkan punggung gue di kursi. Tangan kiri gue berada diatas senderan kursi yang memanjang dibelakang Sisil.

"Soal cita-cita kayaknya gue udah gak akan bisa jadi presiden."

"Lho kenapa?"

"Gimana mau mikirin rakyat kalo dipikiran gue cuma lo." Ini serius lho. Bukan gombal atau rayuan busuk. Sejak kita jadian dipantai waktu itu, gue sadar otak gue selalu terngiang-ngiang namanya. Sekarang dia lagi apa, dia udah makan atau belum, dia belajar atau belum dan sebagainya.

"Gombal."

"Gue serius lho. Gue selalu mikirin lo everytime." Dia berdecak.

"Lo mana pernah serius? Waktu belajar pas mau ujian aja susahnya minta ampun." Jangan ngungkit-ngungkit ujian lagi dong, udah gak mau gue. Bikin mabok.

Loving TechniqueWhere stories live. Discover now