[34] Now, I Know Her Past

294 40 0
                                    

Niatnya sih gue mau ke rumahnya Gentong. Mau ngapain disana? Main bareng bukan jaim bareng. Hehe.

Gue kalau udah kumpul sama Yahya dan Gentong itu udah kayak saudara sendiri. Mereka udah jadi bestfriend gue sejak SMP. Gue kalau lagi bosan, bingung mau ngapain, tapi kalau udah ketemu mereka pasti ada aja yang dilakuin. Entah itu ngebengkel, main PS, atau cerita-cerita hal yang unfaedah.

Kita juga selalu berbagi satu sama lain. Kecuali berbagi cewek, belum pernah kita lakuin. Dan mungkin suatu saat harus kami coba. Hahaha.

Gue sudah duduk diatas Amad dan bersiap untuk meluncur ke kediamannya Gentong. Gue melewati lapangan dan rumah-rumah penduduk. Rumahnya Gentong memang paling jauh diantara kita bertiga. Meskipun gak jauh banget sih. Kalau rumahnya Yahya hanya perlu melewati dua RT dari sini.

Disaat gue melewati suatu tempat, gue melihat penampakan dua sosok manusia. Gue sempet berhenti sebentar. Gak tau apa yang mereka lakukan. Pria yang disana berbadan tinggi dengan kulit kuning. Pakiannya rapi dan formal khas orang kantoran. Gak lupa ada sebuah mobil yang berada dekat dengan si pria. Sedangkan yang satu cewek. Kayaknya masih bocah seumuran gue. Si cewek selalu menghindar ketika pria tadi berusaha mendekatinya. Penculik kah pria itu?

Gue langsung turun dari motor dan bergegas menghampiri kedua orang tersebut. Dan betapa kagetnya gue ketika mendapati sosok ceweknya adalah Sisil. Penampilannya berantakan dengan wajah yang seperti habis menangis, matanya merah. Dia juga tampak terkejut melihat kedatangan gue disini.

"Tolong Al, beri papa kesempatan buat...." Pria tadi memajukan langkahnya. Namun Sisil justru memundurkan langkahnya.

"Gak! Papa udah hancurin kepercayaan aku." Katanya seraya melangkah mundur.

"Papa bisa jelasin semuanya."

"Aku gak butuh penjelasan papa!" Baru kali ini gue menyaksikan Sisil meluapkan emosinya.

Lalu bagaikan pahlawan kesiangan gue berdiri tegap didepan Sisil seolah-olah gue lah tembok pelindungnya.

"Siapa kamu?" Tanya pria di depan gue yang gue tebak adalah papa nya Sisil. Jadi gini rupa orang yang waktu itu pernah diceriatin mamanya Sisil ke gue?

"Om gak perlu tau siapa saya. Yang jelas om gak punya hak untuk memaksa dia mendengarkan penjelasan om." Tegas gue.

"Saya hanya ingin menjelaskan kesalahpahaman yang telah terjadi beberapa tahun lalu,"

"Dengan cara paksa? Itu gak akan berhasil om, saya jamin." Tukas gue.

"Tolong, saya mau bicara sama anak saya." Pintanya. Sedangkan Sisil masih menangis di belakang gue.

"Tapi anak om gak mau bicara." Gue kayaknya mulai emosi deh sama orang yang tipe-tipe ngotot kayak pria di depan gue sekarang.

Gue menghembuskan napas pelan, berusaha mengontrol emosi. Lalu gue maju selangkah lebih dekat denga pria yang statusnya papa nya Sisil.

"Beri dia waktu om. Saya akan bujuk dia biar mau bicara sama om," kata gue.

"Jangan paksa dia. Saya yakin itu malah akan memperparah keadaannya." Sambung gue. Dia menghela napas kemudian mengangguk. Gue rasa dia mengerti.

"Oke, saya akan beri dia waktu. Tapi kamu janji akan bujuk dia sampai berhasil." Gue mengangguk mantap. "Pasti om, pasti."

Dia lalu berbalik meninggalkan tempat ini dan masuk ke dalam mobil mewahnya. Gue lalu menghampiri Sisil yang sudah berjongkok dengan kedua tangan berada disamping kepalanya yang sedang meremas rambutnya.

"Sil. Sisil." Masih terdengar isakan. Saat ini gue belum bisa melihat wajahnya karena dia menenggelamkannya bersama dengan lututnya.

Gue lalu menuntunnya berjalan dan duduk di tepian lapangan atau taman atau apapun tempat itu namanya.

Loving TechniqueWhere stories live. Discover now