[20] Rebutan

305 38 0
                                    

Gue mencoba menggerakan tangan gue yang diperban. Sudah beberapa hari ini gue kesulitan bergerak karena ini. Huft, rasanya masih sakit jika digerakan terlalu banyak.

Mendingan makan pisang goreng aja yang masih anget sambil mandangin jalan raya depan rumah.

Gue menusukan garpu ke pisang goreng yang terletak di piring berwarna putih itu lalu memasukannya kedalam mulut. Enak nih, makan pisang goreng anget didepan rumah. Kalian mau gak? Kalo mau goreng sendiri ya. Ini gue juga pisang gorengnya emak yang bikin. Gue mana bisa goreng pisang dengan tangan diperban gini? Dalam kondisi kedua tangan normal aja gue gak bisa.

Perhatian gue teralih saat seseorang berdiri dihadapan gue.

"Sisil? Sini duduk," gue mempersilahkan dia duduk dikursi yang kosong. Lagian ngapain dia berdiri tegak kayak patung pancoran di depan rumah gue?

"Keadaan lo gimana?"

"Ya ginilah, masih sakit kalo digerakin. Tapi kakinya udah lumayan bisa buat jalan walau tertatih-tatih." Jawab gue sambil mengunyah pisang goreng yang ada didalam mulut.

Gue menikmati pisang goreng yang dibuat emak gue ini. Rasanya enak seperti biasa. Gue rasa Sisil memperhatikan gue. Mungkin dia pengin kali sama pisang gorengnya.

"Kenapa?" Tanya gue ketika dia menatap gue tanpa berkedip tetapi masih dengan muka datar mode on.

Heran gue sama dia. Bisa ya pasang muka lempeng tiap hari. Atau cuma ke gue dia muka datar mode on? Tapi berdasarkan pengamatan gue, dia emang datar ke semua orang deh.

"Mau?" Sebelum Sisil menjawab gue sudah menyumpal pisang goreng dengan garpu yang ada ditangan gue ke mulut Sisil. Dia yang kaget karena gue secara tiba-tiba memasukan sesuatu kedalam mulutnya dan membuatnya refleks menutup mulut.

Awas tumpah tuh pisang goreng dimulut lo, Sil.

"Gimana? Enak?" Gue lihat dia mengangguk disela-sela kegiatannya menelan pisang goreng.

"Ya enaklah, gratis." Kata gue asal.

"Besok lo udah mulai sekolah kan?" Gue mengangguk. Bosen kelamaan libur juga.

"Jadi, besok lo berangkat sama gue," gue teringat akan hal itu. Sebenarnya Sisil gak perlu repot-repot nganterin gue. Gue bisa numpang Gentong.

"Besok gue bonceng Gentong aja biar lo gak perlu nganterin gue," gue kembali mengunyah makanan di hadapan gue.

Sisil menatap gue dengan tatapan yang sulit diartikan. Emang kapan tatapannya bisa diartikan? Tiap saat kan emang gitu. Gue curiga jangan-jangan dia kalau nangis mukanya lempeng aja.

"Gak bisa. Lo harus berangkat sama gue," bantahnya. Kenapa sih? Seharusnya kan dia seneng gak direpotin sama gue.

"Gak usah. Gue berangkat sama Gentong aja." Tolak gue. Sorot matanya yang tajam menembus kedua indra penglihatan gue.

"Kenapa? Kalo lo takut karena lo disuruh emak gue, gak usah khawatir. Ntar gue yang ngomong sama emak kalo lo gak perlu anter jemput gue tiap hari," jeda sebentar.

"Gue juga gak keberatan tiap hari nganter jemput lo."

Skakmat! Mau nyahutin apalagi nih?

"Besok gue tetep akan nganter jemput lo." Dia berdiri dan meninggalkan gue yang masih melongo. Tuh cewek susah juga dilawan.

Gue menatap punggungnya yang semakin jauh dari pandangan gue. Dia sempat berhenti untuk bertatapan dengan Indah yang kala itu baru akan menghampiri gue. Sedangkan Indah yang baru datang, bingung mendapati Sisil yang tiba-tiba menatapnya seperti itu.

Loving Techniqueحيث تعيش القصص. اكتشف الآن