[26] Mantan Everywhere

283 46 0
                                    

Gue menghembuskan napas lega setelah keluar dari gedung bioskop yang menampilakan film horor itu. Sisil membawa gue duduk di taman yang jaraknya gak jauh dari gedung bioskop tadi.

"Lo kenapa?" Gue tersadar akan lamunan gue.

"Hm?" Dia lalu mengeluarkan tisu saku dari kantong celananya kemudian mengambilnya selembar dan menempelkannya di dahi gue. Tangannya yang memegang tisu tampak berputar-putar diarea wajah gue.

"Lo keringetan." Kampret! Jangan-jangan dia tau penyebab gue berkeringat gara-gara nonton film tadi. Pantesan aja dia ngajak keluar sebelum filmya selesai. Ternyata dia cewek yang peka.

"Sil, ada tukang es krim." Tunjuk gue ke salah satu gerobak es krim yang terdapat disana. Sisil yang masih menyeka keringat gue langsung mengarahkan wajahnya kepada tukang es krim.

"Gue mau es krim, lo mau juga?" Dia mengangguk. Gue lalu beranjak dan mengahampiri tukang es krim tersebut.

"Bang, es krimnya dua." Ucap gue. Tanpa menunggu lama dua es krim cone sudah berada ditangan gue.

Gue menyodorkan satu es krim kepada Sisil yang diterimanya entah dengan hati senang atau buruk atau malah tanpa hati. Hehe.

"Gue kira cowok kayak lo gak suka es krim," suara Sisil menginterupsi gue yang sedang menjilat es krim.

"Gue cuma es krim cone," jawab gue.

"Lo berarti gak suka es krim yang lain?"

"Bukan gak suka sih. Gue lebih demen sama es krim cone ketimbang es krim stik atau es krim yang lain." Jelas gue.

"Kenapa?"

"Karena es krim cone wadahnya bisa dimakan. Hahaha." Gue tertawa akan kalimat yang gue keluarkan. Sisil juga menyunggingkan senyumnya.Mungkin itu alasan yang konyol kenapa gue suka es krim jenis itu.

"Lo lucu." Katanya dengan muka datarnya kembali. Lo kira gue boneka?

Disela-sela kegiatan gue makan es krim, gue mendapati Sisil yang agak belepotan menyantap es krimnya. Sudut bibirnya menyisakan sesuatu berwarna coklat dan sudut bibir yang lain terdapat sesuatu berwarna pink. Karena tadi gue beli es krimnya yang berkombinasi.

Tangan kanan gue terulur untuk mengusap bibirnya yang berantakan akan es krim. Gue rasakan si empunya terkejut karena tindakan gue yang tiba-tiba.

"Belepotan banget lo makannya," gue kembali mengusap sudut bibirnya yang masih belum bersih dari es krim. Sedangkan bola mata Sisil sedikit membulat gak tau kenapa.

Gue lalu membersihkan jari gue yang terkena es krim dengan tisu yang tergeletak dikursi taman yang gue duduki. Dia masih menatap gue dengan tatapan apalah gue juga gak tau.

"Sil?"

"Hm?"

"Lo lebih cantik kalo senyum," tutur gue pada akhirnya. Apa yang gue omongin ini jujur lho. Gue gak munafik dengan kecantikan Sisil. Kulitnya yang gak putih tapi gak juga item, eh agak kecoklatan ding, membuat dia keliatan manis. Ditambah rambut panjangnya dan jidatnya yang agak jenong bikin dia tambah manis. Kalau ditambah lagi dengan senyum, bukan manis lagi namanya tapi diabetes. Hahaha.

Beda dengan Indah yang memang cantik. Bedanya. Indah itu cantik dengan kulit putihnya dan postur tubuhnya yang tinggi. Sedangkan Sisil itu manis dengan tubuhnya yang... pendek. Hehe, sorry ya Sil.

Itu menurut pandangan gue, gak tau kalau menurut orang lain. Gue gak bermaksud membanding-bandingkan sih, tapi hanya sedikit menilai perbedaan diantara mereka berdua.

"Coba lo senyum, kali ini aja ke gue. Lho jarang senyum ke gue lho," pinta gue. Dia tampak terkejut dengan permintaan gue ini. Sengaja gue lakuin ini karena gue udah tau dari nyokapnya kalau dia jarang senyum semenjak bokap nyokapnya pisah.

Dia tampak mengalihkan pandangannya kearah lain. "Senyum dong, Sil," gue memohon lagi.

Susah banget nih cewek disuruh senyum. Gue lalu mencubit pipi kirinya yang membuat dia meringis.

"Sakit ya?" Tanya gue sambil mengelus pipinya yang tadi gue cubit. Dia sedikit memanyunkan bibirnya yang bikin gue jadi gemes sama dia. Tak lama kemudian sudut bibirnya terangkat dan menerbitakn sebuah senyuman.

"Nah, gitu dong. Jadi cewek harus banyak senyum." Kata gue sambil mengacak-acak puncak kepalanya.

"Alesha?" Gue dan Sisil refleks menoleh kearah sumber suara.

"Lo... Dia siapa?" Tanya si cowok yang berperawakan agak lebih tinggi dari gue.

"Gue Shaka, lo siapa?" Gue langsung berdiri dan mengulurkan tangan untuk bersalaman.

"Vano. Mantannya Alesha," gue melotot ketika dia menerima uluran tangan gue dan menyebutkan statusnya terhadap Sisil. Nih cewek kecil-kecil mantannya banyak juga ya? Sedangkan gue yang lebih gede baru nyetak satu, itupun gak gue anggep mantan.

Syukur cowok di depan gue gak kayak yang tadi, yang songongnya 'alaihim. Yang ini mah lumayan kalem.

"Ini siapa, Al?" Pertanyaan tersebut dilontarkan kepada Sisil yang masih terdudu. Ketika dia berdiri dan hendak menyahuti Vano, gue dahului dengan kalimat yang membuat keduanya terdiam. "Gue pacarnya."

Vano tampak terkejut akan ucapan gue yang spontan aja keluar dari bibir gue. Lalu matanya meminta konfirmasi kepada Sisil terhadap ucapan gue dan dijawab anggukan pelan oleh Sisil.

"Bikin dia bahagia ya," pinta Vano sambil menepuk pelan bahu gue lalu pergi meninggalkan kami. Gue lalu menatap punggungnya yang mulai menjauh dari pandangan gue.

Gila. Sehari gue ketemu dua mantannya Sisil. Kira-kira berapa banyak mantan yang dia punya? Ada selusin gak ya? Atau malah lebih?

Yang bikin gue heran, ada gitu ya cowok yang mau pacaran sama cewek kutub model dia. Ngomong irit, senyum jarang. Apa hanya karena tampangnya yang lumayan yang bikin para cowok tergila-gila?

"Sebenernya ada berapa banyak mantan lo sih?" Gue kembali duduk dan menatap Sisil disebelah gue. Dia tampak tak memberi respon. Wajahnya seperti biasa, lempeng kayak jalan tol. Huh, baru tadi bisa senyum meski terpaksa, sekarang udah balik lagi kayak dulu. Datar.

"Lebih dari dua." Dia menjawab pada akhirnya. Ya kalau itu sih gue tau.

"Gue ke tolilet dulu," pamitnya.
Sambil menunggu Sisil keluar dari toilet, gue mulai membuka balutan kain ditangan kanan gue sedikit-sedikit. Gue sebenernya risih, udah pengin banget nyopot nih kain. Tapi kalau dilepas sebelum waktunya nanti yang ada malah luka gue infeksi. Tapi kalau gak dilepas bikin ribet.

Terlihat bekas luka waktu kecelakaan hari itu mengering. Meski belum sepenuhnya kering, tetapi mungkin besok udah bisa dilepas sepenuhnya. Dan gue udah bisa bawa Amad lagi. Yuhuu. Senangnya hati ini, gue rindu lo, Mad.

Semoga si Amad gak ngambek setelah beberapa minggu gak gue pakai. Dia juga butuh istirahat setelah beberapa bagian body nya banyak yang tergores. Bahkan kaca spionnya patah satu. Duh, duit lagi nih buat benerin si Amad.

Tapi tenang, Mad, gue pasti bakal bawa lo ke bengkel apapun yang terjadi. Entah nanti gue bakal diamuk emak bapak karena minta duit mulu, gue gak peduli. Ini demi Amad.

🔧🔧🔧

Loving TechniqueWhere stories live. Discover now