[14] Hey Tayo

343 48 0
                                    

Gue memposisikan Amad ditempat parkiran motor. Pandangan gue mengedar keseluruh tempat yang bisa gue lihat. Pagi yang cerah secerah hati gue. Iyalah, hati gue gak pernah mendung. Secara, gue hidup kan dibikin enjoy. Gak kayak dinovel-novel yang keliatannya hidupnya suram.

“Hey, hey,” gue bersuara dan membuat dua cewek yang mungkin adalah adik kelas menengok kearah gue.

“Hey Tayo, hey Tayo. Dia bis kecil ramah,” gue menyanyikan kartun kesukaan bapak gue. Heran juga gue, udah bangkotan tapi sukanya nonton kartun.

Gue lihat mereka berdua salah tingkah sambil tersenyum malu-malu. Siapa yang nyuruh mereka nengok coba?

Gue berjalan menuju kelas sambil mencari mangsa selanjutnya. Hidup sekali buat jahilin orang gak papa kan?

“Hey, hey,” cowok seangkatan gue yang berada didepan gue langsung menoleh kearah gue.

“Hey Tayo, hey Tayo. Dia bisa kecil ramah. Melaju, melambat, Tayo selalu senang.” Gue bernyanyi sambil memperhatikan raut mukanya.

“Kampret lo, Shak!” Dia kemudian berbalik dan meninggalkan gue. Duh, enak juga ya ngeprank orang.

Dihalaman sekolah gue melihat Indah sedang mengobrol dengan temannya. Gue sengaja berdiri gak jauh dari mereka. “Hey, hey,”

Indah dan temannya itu sontak menoleh kearah sumber suara yang tentunya adalah gue.

“Hey Tayo, hey Tayo. Dia bis kecil ramah. Melaju, melambat, Tayo selalu senang. Jalan menanjak, jalan berbelok, dia slalu berani.” Gue melanjutkan nyanyian gue dan berjalan perlahan didepan mereka. Gue lirik mereka terutama Indah yang mukanya sudah merah. Malu pasti tuh cewek. Haha.

Gue menangkap sosok Kinan dikoridor sekolah. Sepertinya dia baru berangkat sama kayak gue. Langsung ajalah gue mulai ngeprank dia.

“Hey, hey,” gue sedikit berlari kearah Kinan. Dan benar saja, Kinan langsung berbalik menghadap gue.

“Hey Tayo, hey Tayo. Dia bis kecil ramah. Melaju, melambat, Tayo selalu senang. Jalan menanjak, jalan berbelok, dia slalu berani.” Gue berjalan melewati Kinan secara perlahan. Saat gue udah didepannya, gue agak menengok kebelakang untuk melihat reaksinya.

“Lo ngajak mati ya, Shak.” Gue tertawa menanggapi respon darinya.

“Pagi ini udah tiga kali gue kena prank.” Katanya.

“Payah lo sih,” sahut gue.

“Yang pertama dilampu merah, yang kedua sama Pak Satpam didepan. Dan yang ketiga sama lo,” gue tertawa lagi mendengar penuturan Kinan.

Gue lalu berdiri didepan pintu kelas. Melihat apa yang sedang teman-teman gue lakukan. Seperti biasa, kelas rame kayak mall yang lagi ngadain diskon gede-gedean.

Gue kemudian maju selangkah dan berdiri diambang pintu lalu bersuara, “Hey, hey,” semua orang menoleh kearah gue. Mendadak kelas menjadi hening selama sepersekian detik.

“Hey Tayo, hey Tayo, dia bis kecil ramah.” Lalu terdengar suara ribut mereka mengomeli gue.

“Wah, ngajak ribut lo, Shak!” Ujar Gentong. Kalau ribut sama Gentong gue jelas gak berani, karena udah jelas gue yang kalah.

“Belum pernah diomelin orang gila ya, lo? Tong, omelin,” Yahya menyuruh Gentong.

Gentong sudah dihadapan gue, bersiap untuk mengomeli gue. “Shak, lo ya... Eh, berarti gue orang gila dong? Wah, kurang ajar lo, Yah.” Gentong menunjuk Yahya yang telah mengerjainya.

Sedangkan gue dan anak-anak sekelas tertawa akan tingkah Gentong yang mau saja dibodohi.

“Untung gak digebukin anak sekelas lo, Shak,” tambah Erik.

“Shak, Shak,” Cakra tumben manggil gue. Gue menoleh.

“Sakitnya tuh disini didalam hatiku,” dia bernyanyi.

“Kampret!” Umpat gue. Sedangkan anak-anak yang lain terbahak karena gue berhasil dikerjai balik.

🔧🔧🔧

Gue menata kembali baut, kunci pas dan perkakas yang lain. Gue baru aja melakukan eksperimen dengan tutor YouTube. Tapi bukan Amad yang gue jadiin percobaan, tapi motor bapak gue. Gak tega gue kalau Amad dijadiin percobaan. Semisal eksperimennya berhasil it’s okay, lha kalau gagal? Kayak sekarang ini nih, eksperimen gue yang entah udah ke berapa kali gagal lagi.

Gue masuk ke dalam rumah untuk menyimpan tas perkakas. Namun, belum juga gue meletakan tas ditempat seharusnya, bapak gue udah teriak-teriak manggil nama gue.

“Shaka....”

“Ada apa sih, Pak? Berisik tau teriak-teriak, malu didenger tetangga,” omel emak gue yang lebih dulu keluar menemui bapak.

Lalu gue menyusul keluar untuk melihat apa yang terjadi. Tampak bapak gue menatap gue langsung kearah netra gue. Tajem banget.

Sambil berkacak pinggang beliau berucap, “Shaka, kamu apain motor Bapak?” Bapak menunjuk motornya yang baru saja gue jadikan bahan percobaan.

“Ini jadi gak nyala gini mesinnya,” wadoh. Mampus gua.

Kalau begini ceritanya bisa-bisa gue dipasung di dalem kamar selama sebulan. Mencegah gue yang kayaknya benran mau dipasung karena bapak gue langsung masuk kedalem rumah dan keluar bawa tali sama gagang sapu, gue langsung ngacir menghindari serangan dari bapak.

“Shaka, mau kemana kamu? Sini!” Gue berlari ke jalan raya dan menghindari amukan Harimau Sumatera yang lepas dari kandang.

Gue sempat menoleh kebelakang dan mendapati beliau ngejar gue hanya sampai depan rumah. Gue berhenti berlari dan memegang kedua lutut gue. Gue ngos-ngosan banget.

Sebuah mobil tampak berhenti disamping gue. Dari luar gue bisa nebak kalau itu Sisil. Dia keluar dari mobilnya dan menghampiri gue yang duduk bersandar dipohon tepi jalan dengan keadaan masih susah bernapas.

“Kenapa?” Tanyanya.

“Abis dikejar Harimau Sumatera,” jawab gue dengan sedikit terbata-bata.

“Hah?”

“Dikejar bapak gue maksudnya,” gue menangkap sudut bibirnya sedikit terangkat. Tapi begitu gue melihatnya dia langsung kembali ke mode datar.

“Ikut gue,” titahnya. Gue menurutinya, daripada balik kerumah nantinya malah dipasung beneran gue-nya.

Gue masuk kedalam mobilnya dan nampak hanya gue dan Sisil doang. Artinya dia gak sama supirnya.

Gue duduk disebelahnya yang sudah memegang kemudi. “Lo ada tisu atau apalah yang bisa buat bersihin tangan gue?” Tanya gue sambil menunjukan kedua telapak tangan gue yang kotor akibat terkena oli dan cairan lainnya.

Dia menyerahkan sebungkus tisu basah pada gue lalu menjalankan mobilnya. Gue mengelapkan tangan gue yang kotor itu dengan tisu basah yang dikasih Sisil tadi.

“Kenapa bisa dikejar bapak lo?” Dia bertanya setelah beberapa menit hening.

“Oh itu, gue tadi abis ngerombak motornya. Gue kira eksperimen gue kali ini bakal berhasil, tapi eh malah sama aja kayak kemarin-kemarin.” Dia hanya manggut-manggut.

“Motor bapak gue malah jadi gak nyala mesinnya setelah gue otak-atik luar dalemnya,” lanjut gue. Gue perhatikan dia yang masih diem dengerin gue cerita. Kayaknya dia cocok banget jadi pendengar pembina upacara deh. Gue kalau upacara pas bagiannya pembina ngasih amanat rasanya pengin tidur banget. Bikin ngantuk sih.

Sisil masih dengan pandangannya yang fokus kedepan. Mukanya selalu datar seperti saat pertama kali bertemu. Sebenernya dia itu cantik kalau lagi senyum atau ketawa. Inget insiden dikamar mandi Satu Bangsa? Disitu gue nemuin dia ketawa untuk pertama kalinya. Gue jarang banget liat dia senyum.

Gue tersadar akan lamunan gue ketika memerhatikan wajah Sisil. Untung si empunya gak sadar. “Gue mau dibawa kemana ini?” Gue baru sadar kalau sejak tadi gue ikut sama Sisisl tanpa tau tujuannya.

“Ntar juga tau,” Sisil mau nyulik gue kah? Terus dijual ke luar negeri buat jadi babu disana? Waduh, gawat ini. Ya Allah, selamatkan hamba dari segala marabahaya dan tipu daya. Aamiin.

🔧🔧🔧

Loving TechniqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang