[25] Watch A Movie

297 43 2
                                    

Sisil memberhentikan mobilnya di depan sebuah gedung. Gue membaca tulisan berukuran jumbo yang terpampang jelas di depan gedung.

Bioskop? Dia ngajak gue ke bioskop? Jadi dia telpon gue pagi-pagi buat ngajak gue ke bioskop? Bener-bener unfaedah banget dia nelpon gue tadi pagi.

“Lo mau nonton?”

“Kita,” koreksinya sebelum dia melepas sabuk pengaman dan keluar dari mobil cantiknya ini.

“Lo tunggu disini aja,” titahnya. Dia kemudian berlalu untuk membeli tiket nonton diloket. Sedangkan gue duduk dibangku yang disediakan.

“Filmnya masih tiga puluh menit lagi,” dia berujar sekembalinya dari loket.

“Lo mau popcorn?” Gue mengangguk. Dia hendak berdiri namun gue cegah.

“Biar gue yang beli.” Dia kemudian kembali duduk. Untung tangan kanan gue udah bisa digerakin meskipun masih diperban, tapi udah bisa digunakan. Tapi ya harus pelan-pelan dan hati-hati.

Selepas mengantri membeli berondong jagung gue kembali ke meja dimana gue dan Sisil berada. Gue mendapati Sisil sedang bercakap-cakap dengan seorang cowok yang gue taksir umurnya gak beda jauh sama gue dan Sisil.

Please, Al....” Gue dengar si cowok memohon kepada Sisil. Sedangkan Sisil menanggapinya dengan datar.

“Gue sayang lo, please jadi pacar gue lagi,” gue yang memegang dua wadah popcorn sedikit terkejut. Dia mantan Sisil? Karena gue dengar dia minta Sisil buat jadi pacarnya, lagi. Kalau ada kata lagi pasti udah jadi mantan.

“Gak bisa.” Jawab Sisil tegas.

“Kenapa? Seenggaknya lo kasih tau alasan kenapa lo nolak gue.”

“Gue udah suka sama orang lain.” Katanya. Dan detik itu juga dia menyadari gue yang sedari tadi mengamati percakapan diantara mereka berdua. Raut mukanya terkejut dengan matanya yang sedikit membulat.

“Siapa yang udah berani rebut hati lo?” Tanya si cowok. Karena Sisil sudah sadar akan keberadaan gue maka gue menghampirinya dengan kedua tangan yang memegang popcorn.

Pandangan Sisil mengarah ke gue dan hal itu menyebabkan cowok yang gue kira mantannya Sisil juga ikut menengok kearah gue. “Jadi dia yang udah ngerebut hati lo?” Cowok tadi mendekati gue.

“Cih. Cowok kayak gini apa spesialnya coba?” Dia menatap gue dari atas sampai bawah kemudian keatas lagi lalu ke bawah lagi. Buset, gak pernah liat manusia ya, Mas? Apa karena gue ganteng?

“Masih mending gue. Tangannya aja cacat.” Ucapnya meremehkan gue. Dia lalu tersenyum sinis. Gue masih diam mendengar bacotan mantannya Sisil yang menjelek-jelekan gue. Belum saatnya gue balas perkataannya yang gak berfaedah itu.

“Anak mana lo?” Gue menatapnya bingung. Gue lihat dia mengehembuskan napas kasar. “Sekolah dimana lo?”

“SMK Tirta Jaya.”

“Cuma anak SMK pula. Mau jadi apa gedenya? Apalagi di Tirta Jaya.” Bangke! Kayaknya nih cowok pengin pulang tinggal nama. Dia boleh aja ngehina gue tapi bukan berarti dia bisa seenak jidatnya ngehina sekolah gue.

“Emang kenapa kalo anak SMK? Kenapa juga sama SMK Tirta Jaya? Sekolah disana seru kok. Fasilitasnya juga bagus, gak kalah sama sekolahan SMA favorit,” timpal gue sambil sedikit-sedikit promosi, hehe.

“Anak SMK gak punya masa depan. Gedenya mau kerja apa coba kalo cuma SMK?” Fix, anda ngajak ribut.
Gue lalu meletakan kedua wadah popcorn ke meja dihadapan gue lalu mengahampiri cowok kurang ajar ini.

“Mas yang baik hati, nanti kalo motornya rusak dibawa ke salon ya. Terus kalo ibu Mas mau perawatan rambut, luluran atau segala macem nanti dibawa ke bengkel. Oh ya satu lagi jangan lupa, kalo sampeyan laper jangan ke rumah makan tapi ke rumah sakit, oke?” Ucap gue sambil tersenyum kepadanya lalu duduk dikursi terdekat.

Dikira anak yang kerjanya di bengkel-bengkel gede bukan anak SMK kali ya? Dikira orang yang jadi pegawai di salon-salon ternama yang biasa jadi langganan artis bukan lulusan SMK?

DIKIRA ANAK SMK GAK BERGUNA?!?

Dia terdiam akan penuturan gue. Skakmat deh lo. Makanya sebelum nyinyir diharapkan ngaca dulu. Nanti kalau gak punya kaca gue pinjemin kacanya Vera yang suka dandan itu.

“Sampeyan kira yang biasa ngerakit motor di pabrik-pabrik gede di Indonesia bukan anak SMK ya? Sampeyan kira mereka lulusan apa? TK? SD?” Gue udah gak peduli sama apa yang keluar dari mulut gue, entah itu kebenaran atau kebohongan.

Gue bukannya merendahkan anak SMA atau apa, tapi gue cuma mau dia tau bahwa anak SMK gak seburuk atau sepayah yang dia kira. Anak SMK juga punya harga diri yang gak mau di injek-injek. Anak SMK juga punya kemampuan yang cukup untuk bersaing dengan anak SMA atau anak-anak lulusan dari jenjang pendidikan yang lain.

Setelah beberapa menit dia gak bersuara, akhirnya gue yang memutuskan untuk masuk ke dalam bioskop karena waktunya film diputar.

“Ayo, Sil. Kita masuk.” Gue menarik tangan Sisil menjauh dari tempat cowok itu masih berdiri cengo. Gak ketinggalan juga popcorn yang gue beli tadi.

“Tadi mantan lo?” Tanya gue setelah kami berdua duduk sesuai dengan nomor kursi yang tertera di tiket masuk.

Dia mengangguk. “Songong banget sih mantan lo,” ucap gue pada akhirnya. Gue gak tahan buat gak ngomel soal dia. Bodo amat dah sama reaksi Sisil yang terima atau kagak mantannya gue jelek-jelekin.

“Untung tadi tempatnya rame, coba aja kalo tempatnya sepi, udah babak belur tuh cowok gue habisin.” Kesal gue.

“Emang tangan lo udah gak sakit?”

“Gue kalo lagi emosi gak peduli kondisi tubuh gue, mau lagi sakit kek mau kagak kek. Namanya hajar ya hajar aja sampe kelar,” dia gak menanggapi. Pandangannya lurus menatap layar di depan yang memutar film.

Wajah gue ikut mengarah ke depan untuk menyaksikan film yang di putar. Tapi belum lama film di putar, gue udah kelimpungan gak jelas. Apalagi pas layar di depan menampilkan sosok menyeramkan dengan darah bercucuran. Ini film apa sih?

Gue lirik tiket yang ada digenggaman Sisil. Dalam keadaan remang-remang gue masih dapat melihat judul film yang sedang di putar sekarang ini.

Pengabdi Setan.

Mampus gue! Gue kan takut sama beginian malah nontonnya Pengabdi Setan. Gimana nih? Masa gue mau ngomong sama Sisil kalau gue gak berani nonton film ini? Gengsi dong, dimana harga diri gue sebagai cowok?

Sisil tampak menikmati film yang ditampilkan di depan. Sesekali dia mengambil popcorn dan memasukannya ke dalam mulut. Nih cewek gak ada rasa takut sama sekali.

Sedangkan gue, keringat mulai mengalir di punggung yang menyebabkan baju belakang gue sedikit basah. Tepat disaat layar menampilkan adegan menegangkan, gue meremas tangan Sisil yang terdiam diatas pegangan kursi. Ketika layar menampilkan adegan yang lebih menyeramkan, remasan tangan gue terhadap Sisil semakin kencang. Gue gak tau apakah dia merasakan ketakutan gue saat ini. Bagus deh kalau dia tau. Gak tahan gue lama-lama disini.

“Lo kenapa?” Dia tersadar akan remasan tangan gue yang semakin kencang di tangannya.

“Ng... Gak papa kok,” bohong. Pendusta. Justru gue kenapa-kenapa disini njir.

Selang beberapa menit dia berdiri dari duduknya. “Keluar yuk.” Ajaknya. Padahal film di depan sana belum selesai di putar. Belum juga setenagh main.

“Gue udah bosen disini.” Alhamdulillah. Akhirnya gue bakal keluar juga dari zona menyeramkan ini.

Gue lalu dengan sigap ikut berdiri dan keluar dari sana dengan keadaan bahagia namun keadaan fisik gue masih gak karuan. Semoga Sisil  gak sadar dengan keringat yang membasahi sekitar pelipis gue.

🔧🔧🔧

Loving TechniqueWhere stories live. Discover now