[9] Hantu dan Softex

446 62 1
                                    

Setelah pertandingan yang cukup seru antara tim gue dari SMK Tirta Jaya melawan tim dari SMA Satu Bangsa, penonton perlahan mulai meninggalkan arena pertandingan. Gue dan tim gue pun hendak pulang kesekolah kami. Namun sebelum pergi, gue numpang kencing dulu di sekolah elit ini.

Setelah gue keluar dari toilet Satu Bangsa, gue mendengar suara dari dalam toilet cewek. Gue dekati pintu toilet cewek yang merupakan sumber dari suara yang gue dengar tadi.

Ada orangnya gak sih di dalem?

Kayaknya sih gak ada. Serem ih kalau di dalem sana ada setan. Nanti gue kerja sama dengan anak Multimedia buat bikin film gaje yang judulnya 'Sekolah Mahal dengan Hantu Menyeramkan Di Toilet Perempuan'. Sudah gue pastikan film nya gak bakalan laku dipasaran. Ya iyalah, dilihat dari judulnya aja udah kayak sinetron Azab dan semacemnya.

Gue kemudian mengetuk pelan pintu toilet cewek tersebut, “Permisi, ada orang?” Masih hening. Semilir angin kecil tiba-tiba menerpa kulit gue. Duh, kenapa hawanya jadi horor gini sih?

Gue ketuk sekali lagi dan masih gak ada jawaban. Gue jadi merinding, asli. Bulu kuduk gue langsung pada berdiri semua. Ternyata sekolah bagus kayak Satu Bangsa juga gak lepas dari hal-hal berbau mistis.

Daripada gue jadi santapan para kuntilanak, sundel bolong, atau hantu apapun itulah didalamnya, mending gue cabut. Serem juga nih sekolah.

Belum gue beranjak terdengar pintu toilet dihadapan gue terbuka. Sontak gue menjerit sambil menutup mata. Pasti hantu itu mau jadiin gue tumbal.

“Emak, emak, tolong Shaka, Mak.” Gue menutup mata dengan kedua tangan gue. Perlahan gue mulai berjongkok sambil menangis. Jujur ya gengs gue tuh takut sama yang kek beginian, hal-hal yang berbau horor gitu.

“Ya Allah, cobaan macam apa ini? Ya haula wala quwata ila bilahil aliyil adzim,” entah doa apa yang meluncur dari bibir gue.

Hantunya udah pergi belum sih? Kata emak kalau gue ketemu sejenis hantu gue harus baca ayat-ayat suci. Apalagi buat cowok yang takut beginian kayak gue.

“Hei,” hantunya bisa ngomong? Suaranya mirip cewek pula. Jangan-jangan kuntilanak.

Gue masih tersedu-sedu dengan posisi berjongkok. Sumpah, gue takut banget.

“Hei,” hantu itu mengusap pelan kepala gue.

“Ini gue,” ucapnya lagi.

Gue perlahan mendongakkan kepala dan mendapati sosok cewek berdiri didepan gue yang masih berjongkok. Gue sontak berdiri dan mengusap air mata gue yang sudah terlanjur turun.

Sialan! Ngapa sih gue pake ada acara nangis gini didepan Sisil? Kan malu-maluin, nanti dikiranya gue cowok penakut. Ya emang gue takut sama begituan sih.

“Ternyata lo,” gue mengusap ingus yang mendadak keluar dari hidung. Kampret! Kayak anak kecil banget sih gue.

“Lo kira gue hantu?” Gue menatap cewek yang gue kira kuntilanak tadi.

“Lo takut hantu?” Gue menggaruk tengkuk gue yang gak gatel. Gue bisa melihat raut wajahnya yang tampak seperti menahan tawa. Ya elah Mba, kalo mau ketawa, ketawa aja kali gak usah ditahan gitu. Iya gue tau gue cemen.

Setelah seperkian detik membungkam mulutnya, akhirnya Sisil meledakan tawanya. Ya alloh Mba, bahagia banget keliatannya ngetawain gue. “Puas lo ketawa?”

“Gue gak nyangka cowok kayak lo bisa takut sama hal-hal berbau horor,” katanya disela-sela tawa. Kok ngeselin ya liat dia ngetawain gue? Wait, apa? Ketawa? Seorang Alesha Sisilia bisa tertawa juga? Gue kira cuma bisa diem doang kayak Limbad. Tapi ketawanya dia bikin keliatan lebih cantik. Gue akui kalau Sisil itu cantik. Ya iyalah, Sisil kan cewek. Masa iya gue sebut ganteng. Kalau gue lah baru disebut ganteng. Kegantengan malah.

“Lo ngapain disini?” Tanya gue.

“Ini sekolah gue.” Tunggu, dia kan sekolah di....

Oh iya, dia kan anak Satu Bangsa ya. Wajar lah dia disini. Duh kok gue oon banget sih?

“Jadi, lo waktu itu latihan futsal buat pertandingan ini?” Gue mengangguk pelan.

Dia sedikit tersentak dan mulai masuk kembali kedalam toilet. Gue yang gak tau apa yang terjadi mulai menggedor-gedor pintu toilet. Berharap Sisil membuka pintu dan menjelaskan apa yang terjadi.

“Sil, Sisil,” gue mengetuk-ngetuk pintu yang entah terbuat dari apa.

Setelah beberapa kali ketukan, dia baru membukakan pintunya. “What happen?”

“Lo tolong gue ya,” pintanya.

“Tolong apa?”

“Gue dapet, lo tolong beliin roti tawar buat gue.” Gue kemudian mengangguk dan menyuruhnya menunggu disini. Gue beranjak dan mulai bertanya kepada beberapa siswa yang gue temui.

“Permisi, kantin disekolah ini dimana ya?”

“Kakak kok ganteng banget sih, Ya Alloh.” Nih bocah kayaknya gak waras deh. Eh, emang bener sih kalau gue ganteng. Gue mencari orang lain untuk ditanyai.

“Permisi, kantin disebelah mana ya?”

“Lo amnesia ya? Kantin aja gak tau,” ucap seorang siswa lelaki lalu meninggalkan gue. Lah, dia gak tau rupanya kalu gue bukan murid sini.

“Maaf, kantin disebelah mana ya?”

“ID Line apa? Atau nomor WA juga boleh,” Ya Rabb. Banyak amat cewek centil disekolah ini. Gue lalu beralih ke murid lain dan berharap murid tersebut mau memberi tahu arah jalan kekantin.

“Permisi, numpang tanya, kantin sekolah ini dimana ya?” Tanya gue kepada lelaki bertubuh tak jauh seperti gue. Dia menatap gue dari atas sampai bawah kemudian naik ke atas lagi lalu kebawah lagi. Mas, gak pernah liat orang ya? Gue colok juga tuh mata biar kedip ngeliatin gue-nya. Gue tau gue ganteng, tapi biasa aja kali liatnya.

“Lo anak Tirta Jaya yang tanding futsal disini ya?” Mungkin dia tau dari kaos yang gue kenakan.

“Iya.”

“Kenalin, gue Hendra.” Dia menyalami tangan gue yang gue balas dengan uluran tangan dan juga senyuman.

“Shaka.” Ucap gue memperkenalkan diri.

“Kalo lo cari kantin, lo tinggal belok kiri terus lurus. Kantinnya ada dideket musholla,” gue berterima kasih lalu bergegas menuju kantin. Akhirnya, ada orang waras juga disekolah ini.

Lepas dari kantin, gue segera kembali menuju toilet dimana Sisil berada dan kembali mengetuk pintu.

“Udah?” Gue lalu menyerahkan sebungkus roti tawar yang gue beli.
Gue lihat dia menepuk jidatnya yang agak jenong.

“Kenapa?” Salahkah apa yang gue beli?

“Bukan ini yang gue maksud.” Yah?

“Oh, gue tau yang lo maksud.” Gue menjentikkan jari gue lalu bergegas kembali menuju kantin dan membeli roti tawar yang dia maksud.

“Ini kan yang lo maksud?” Gue menyodorkan roti tawar yang sudah disertai selai strawberry didalamnya. Kali ini pasti bener, dia kan anaknya orang kaya, pasti gak mau makan makanan murah. Jadi, kali ini gue beli roti tawar yang agak mahal dari biasanya. Pasti enak, ada selai nya juga.

Tetapi raut mukanya menunjukkan kalau dia geram sama tingkah gue. Lho, apa yang salah? Gue kan ngelakuin apa yang dia minta.

“Gue gak minta roti tawar dengan selai.” Ujarnya.

“Tadi kan lo minta gue beliin roti tawar.” Gue hendak protes namun belum sampai gue ungkapin dia mendekat ke arah gue.

“Roti tawar yang gue maksud itu pembalut, bodoh.” Bisiknya dan melirihkan volumenya saat pengucapan kata ‘pembalut’ dan ‘bodoh’.

“Ngomong dong kalo minta pembalut. Gue kan gak tau bahasa isyarat cewek.” Emak gue gak pernah minta gue beli roti tawar, maklumlah gue gak tau.

Jadi, kali ini gue harus balik lagi ke kantin? Bukan capek sih, tapi gue malu sama ibu-ibu kantin yang jualan. Dari tadi bolak-balik mulu kayak setrikaan. Apalagi sekarang gue mau beli softex alias pembalut. Tapi, karena dia cewek dan dia pasti butuh banget sama benda putih itu, jadi dengan sangat malu gue kembali ke kantin. Jangan tanya reaksi ibu kantin. Udah bisa ditebak reaksinya.

🔧🔧🔧

Loving TechniqueTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang