Part 8 - Memang sakit

110K 7.8K 743
                                    

"Ma."

Amanda menghampiri ibunya di ruang kerja. Wanita berusia awal empat puluhan itu tampak lelah setelah bekerja keras bagai kuda, sejak libur semester baru hari ini Amanda bertemu sang ibu. Pagi tadi ibu Amanda baru pulang dari perjalanan bisnis.

"Pagi, Sayang." Mirna tersenyum pada putrinya.

Amanda mendekat. Dia duduk di sofa panjang yang sama dengan sang ibu. "Mama, nyampenya kapan?"

"Tadi malam," Mirna meraih laptopnya mengecek sesuatu. Mata wanita itu terlihat serius, Amanda tidak pernah melihat sang ibu menatap dirinya seserius itu.

"Mama belum liat rapor aku semester ini," tutur Amanda dengan nada lemah.

"Ya ampun, Mama lupa. Kalian sudah terima rapor? Coba sini Mama lihat," balas Mirna dengan nada sok terkejut.

Dari ekspresi sang ibu, Amanda dapat menebak bahwa ibunya sama sekali tidak mengetahui apa pun tentang dirinya. Bahkan hal sepele bahwa Amanda sudah menerima rapor ibunya saja tidak tahu.

Dia sedih. Amanda merasa tidak penting dibandingkan bisnis-bisnis sang ibu. Dengan gerakan pelan Amanda menyerahkan buku rapor yang ia genggam pada ibunya.

"Aku dapat rangking lima terbawah di kelas," adu Amanda.

"Iya, gapapa. Semester depan harus ditingkatkan lagi, ya." Setelah melihat-lihat rapor Amanda, Mirna langsung menutup buku rapor itu lalu menyerahkannya kembali pada sang putri.

Hanya seperti itu? Tidak ada omelan atau teguran? Ayolah, saat ini Amanda dapat rangking yang sangat mengecewakan. Tidakkah ibunya marah?

Amanda ingin ibunya mengomel seperti seorang ibu pada umumnya. Amanda ingin melihat ekspresi khawatir sang ibu takut masa depan Amanda rusak karena nilai Amanda yang jelek. Amanda ingin diperhatikan.

"Belajar lebih giat lagi. Mama ke kantor dulu. Jangan lupa sarapan ya, Sayang." Ibu Amanda mengusap puncak kepalanya. Lalu mengecup kening Amanda sebelum berlalu pergi.

Mata Amanda menatap dalam punggung ibunya. Wanita yang sangat ia cintai, namun begitu cuek pada dirinya. Amanda yakin ibunya itu pasti tidak tahu cita-cita Amanda. Ibunya hanya tahu cara mencari uang yang banyak. Padahal ayah Amanda sudah cukup kaya untuk memenuhi semua kebutuhan.

Amanda melempar rapor miliknya. Lembaran berisi nilai-nilai itu tergeletak di atas lantai, tak berdaya. Angin berhembus hingga lembarannya tertiup dan bergoyang pelan.

"Nggak ada yang peduli sama gue!"

_o0o_

Sinar matahari mulai meredup. Panasnya tidak seekstrim tadi siang. Sore, waktu yang tepat untuk keluar rumah dan bersosialisasi di dunia luar. Sore hari sering kali dimanfaatkan muda-mudi untuk jalan-jalan buang penat, walau hanya sekedar berkeliling kota.

Sore ini Amanda memberanikan diri untuk datang ke rumah Arsen. Sebenarnya Amanda ingin pergi main, namun tidak ada tempat yang dia tuju. Amanda mati gaya di rumah karena  bosan.

"Cari siapa, ya?"

Suara seorang perempuan menarik perhatian Amanda. Dia menoleh dan mendapati Adik Arsen  yang pulang datang entah dari mana.

"Kak Amanda?" tebak Adik Arsen.

Amanda memang pernah berkunjung beberapa kali ke rumah Arsen dengan berbagai alasan. Amanda pura-pura ingin kerja kelompok, pinjam buku, atau alasan lainnya agar ia bisa berkunjung.

Amanda [END - SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang