29: Rasa Perpisahan

1.9K 441 39
                                    

|

❤🌞🍉

D u a  p u l u h
S e m b i l a n

|





Pohon sansuyu sudah terlewati. Itu artinya hanya sisa beberapa blok lagi, dan Vanteㅡyang tengah menggendong Irene di punggungnyaㅡakan segera menyudahi aktivitas mereka.

Malam itu bintang tidak terlalu banyak, tetapi angin berhembus lebih dingin dari biasanya. Maka Irene mengeratkan pelukannya pada Vante, berharap bahwa kehangatan dapat menjalar untuk prianya.

"Dingin?" Tanya Irene.

"Tidak. Kamu dingin?"

Irene mendusal pada rambut Vante dan menggeleng pelan. Aroma mint segar menguar dari gumpalan surai Vante yang selembut kapas. Nyaman sekali. Kepalanya jadi ingin tidur di sana saja rasanya, apalagi sekarang sedang pening karena kejadian tadiㅡia menangis lumayan banyak.

Cukup mengejutkan Vante bisa membacanya. Dan itu yang membuatnya semakin bingung. Untuk yang satu ini... bagaimana cara ia memberitahunya, ya?

"Soal tadi, kamu tahu darimana?" Irene memulai basa-basi.

"Salahmu sendiri yang terlalu jelas menampakkan segalanya."

Vante mendongak, aroma parfumnya yang menyenangkan menguar. Lagi-lagi membuat Irene semakin sedih saat mendengarnya berkata, "Mengajak ke taman itu satu hal. Festival cosmos yang ramai manusia itu juga sangat bukan kamu. Kamu tersenyum lebih banyak dari biasanya. Dan bahkan kamu memelukku berkali-kali."

Lalu Vante juga melanjutkan sembari mengembangkan senyum, "Tapi aku suka. Terima kasih."

Menggigit bibir, gadis itu hanya memejamkan mata sejenak dalam rasa bersalah.

"Tapi omong-omong. Tidak adil, ya? Kamu tersenyum banyak saat kau mau berpisah denganku. Tidak adil sekali."

Ternyata ia jarang sekali, ya, menunjukkan hal simpelㅡseperti tersenyumㅡpada Vante?

Irene hanya bisa terdiam sejenak, sebelum berusaha mencairkan suasana dengan berkata lembut, "Itu sulap."

"Ya?"

"Supaya kamu ingat senyum kekasihmu manis. Jadi kamu tidak kemana-mana."

Cukup untuk membuat Vante tertawa gemas. Setelahnya ia menurunkan Irene dengan hati-hati tatkala jarak tinggal beberapa siku sebelum berada di pagar rumah, pria itu menyahut, "Tidak disulap begitu juga sudah tahu, Sayangku."

"Dan janjinya?"

"Ya. Dan janji tidak kemana-mana," Vante mengangguk dengan senyum, tipis tapi penuh perasaan.

Penglihatan Irene mendadak buram oleh linangan air mata yang masih menggantung. Akan tetapi diusapnya diam-diam setelah memeluk Vante begitu erat. Perlahan tangan besar nan hangat itu menepuk pundak Irene yang kecil, sebelum pelan-pelan melepas dekapannya. Ditatapnya iris Irene penuh kasih sebelum mengacak rambut sang gadis, "Masuk sana."

Irene menggeleng, "Tidak mau."

Vante mengangkat alis dalam diam. Kemudian menghela napas secara sembunyi. Ada apa, ya?

Langkahbya mendekat, Irene melompat dan mengalungkan lengan di leher Vante. Spontan sang pria membuat pertahanan pada lengan untuk menggendong gadis yang ada di hadapannya saat ini.

Rambut Irene yang bergelombang jatuh mengenai wajah secara perlahan membelai pipi Vante. Saat kepala didongak, ada wajah cantik favorit Vante di sanaㅡsedang tersenyum lebar dengan sinaran mata yg sedikit berair.

Perlahan senyum pemuda itu mengembang. Tapi senyum itu tidak sampai ke mata. Kesedihan Vante terpendam di sana.

Tapi tak ingin ditunjukkannya, Vante memanyunkan bibir sambil berusaha berkata lucu, "Ayo cium dulu. Sudah jago belum sekarang?"

Irene memilih untuk menghadiahi hanya satu dua kecupan ringan di bibir, sebelum menggeleng malu

"Aduh, bukan begitu, Ireneku sayang. Pakai lidahnya," Vante menjulurkan lidah dengan usil.

"Heh, bicaranya. Aku gigit kamu, ya?"

"Lidah aku mau digigit? Irene Bernice hobi main kasar ternyata."

Begitu kalimat itu selesai Vante sukses mendapatkan jitakan kepalaㅡlumayan keras untuk menyebabkan kerucut muncul secara otomatis di bibir Vante. "Iya, iya, maaf bercanda."

Irene menapakkan kaki dan masuk rumah. Sebelum masuk Irene memanggil Vante satu kali. Kali ini intonasinya terdengar berat hati, "Vante."

"Aku belum bilang, kan, kalau aku juga sayang padamu?"

Kepala Vante serasa disiram air langit bidadari. Rasanya segar sekali. Ia menahan mati-matian agar semburat merah muda samar di pipi tidak terlalu kelihatan. Akan tetapi ia kalah telak saat Irene menambahkan, "Aku sayang padamu."

"ㅡtapi..."

Shit. Tapi apa ini? Tapi apa lagi?

"Tapi kalau aku menyuruhmu menunggu... itu lebih tidak adil, ya? Rasanya aku egois sekali. Membiarkan kamu sendirian."

"Hah? Maksud kamu apa?"

"Rasanya egois kalau aku menyuruhmu menunggu 2 tahun. Sendirian di sini."

"Kamu kok bicara seolah-olah tidak akan pulang tiap tahun?"

"Aku dengar begitu..."

"Kamu juga kan sendirian di sana. Adil, kok. Kita sama-sama menunggu..." Vante serius.

Ia benar-benar tidak merasa keberatan untuk menunggu.

Lantas, menatap penuh harap, Vante baru bisa menghela napas setengah lega saat Irene menjawab, "Iya, ya. Baiklah... Maaf aku terlalu banyak berpikir."

Akan tetapi... raut wajah Irene itu merusak kelegaannya. Ada sesuatu di sana. Dan itu cukup mengusik Vante. Sangat, malah.

"Rene?"

"Ya?"

Vante maju. Tanpa aba-aba, langkah kakinya membawanya pada Irene yang masih berpijak di depan pagar rumah, sebelum akhirnya berpindah ke dalam rengkuhan besar yang hangat.

Ia tahu. Ia tahu pasti ada sesuatu. Pasti ada sesuatu yang ingin dikabarkan Irene.

Tinggal saatnya kapan, dan ia harus memastikan itu semua. Secepatnya, sebelum terlambat menyadari seperti orang bodoh.

Beberapa detik yang diisi keheningan itu seharusnya menjadi ketenangan. Tetapi di antara keduanya tidak ada yang tenang. Jantung keduanya bertaluㅡtidak berirama karena terlalu berantakkan untuk mendengar satu sama lain.

Belum lagi saat Irene akhirnya mengeluarkan kabarㅡyang entah mengapa menjawab pertanyaan Vanteㅡyang keluar mendadak dalam sekon yang sama, juga.

"Lusa jam 10 pagi aku akan ke London." // "Kamu terbang besok, ya?"

Oh. Baik. Baiklah.

Jadi begini, ya, perpisahan mereka.

Ternyata memang harus berpisah secepat ini. Mendadak hati Vante serasa dikoyak dengan paku-paku kecil tajam. Ia tidak pernah tahu bahwa ternyata seperih ini efeknya.

Benar kata mereka. Perpisahan yang paling sakit adalah yang terpisah karena situasi. []

_______

Notes:
We've been through a lot. Let's just do what we want.

P.s: 1 atau 2 chapter lagi tamat.

✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now