11: Rasa Dekat? (Bagian Satu)

2.2K 544 30
                                    

The moon understands what it means to be human. Sometimes weak and wan, sometimes strong and full of light.


|

❤🌞🍉

S e b e l a s

|




Irene duduk bersila di depan teras penginapan, menikmati langit sendirian merupakan aktivitas favorit, atau sebut saja hobi Irene.

Sederhana saja. Langit selalu terlihat lapang, seolah mengartikan kebebasan dan keleluasaan. Irene suka arti itu. Irene suka semuanya tentang langit, terutama saat malam.

Malam di Daegu sangat indah. Kelam langit yang kontras justru semakin memancarkan sinar penghuni setianya. Bintang bertaburan di kanvas alam bergradien nila kehitaman, membentuk titik-titik kecil dengan pola tak beraturan. Embusan angin malam dan remang-remang cahaya Bulan menyapa dari balik awan, mendukung kilauan bintang dari kejauhan.

"Ekhem.." sebuah dehaman memecah keheningan, membuatnya tertegun. "Kau suka langit?" tanya Vante seraya duduk di samping gadis itu.

Angin berhembus pelan, membuat sedikit helai rambut Irene menyapu wajahnya yang mulus. Sambil menghirup aroma angin sejuk, ia mengangguk, "terutama bulan."

"Bulan? Biasanya orang lebih mengagumi bintang. Apa yang kau suka dari bulan?"

"Bulan bersinar dengan bantuan yang lain."

Tatapan Vante fokus, "Hm?"

"Aku konyol, ya? Tiba-tiba melankolis begitu..."

"Tidak sama sekali. Aku juga suka langit. Tapi lebih suka saat cerah. Seperti siang atau pagi."

Senyuman Irene mengembang tipis saat Vante memahaminya, "Bulan itu mirip denganku. Dia tidak punya apa-apa. Tidak memiliki kemampuan untuk bersinar ataupun bertahan sendiri. Selalu butuh yang lain."

"Kenapa tidak bintang? Mereka bersinar dan bertahan dengan sendirinya."

"Aku hanya merasa bahwa bulan mengerti aku. Aku tidak punya apa-apa. Yang aku lakukan hanya terus bekerja dan belajar. Jika aku berhenti, apa yang aku punya? Tidak ada."

"Itu maksudku. Kau mandiri dan bisa berdiri atas usahamu sendiri. Kau tidak butuh siapapun. You shine all by yourself. You should be the star," kata Vante.

Sampai beberapa detik kemudian setelah keheningan melanda, pria itu melanjutkan kalimatnya dengan sedikit gugup, "... It suits you."

Irene terkekeh malu, "It doesn't suit you."

"A-apanya?"

"Caramu berbicara. I thought you were just a total scumbag," Irene tertawa kecil.

Entah kenapa Irene merasa lebih dekat berkat percakapan malam ini dengan Vante. Ia tak menduga ternyata Victorius Vante memiliki sisi lain seperti ini. Sisi yang bisa mengiringi melankolismenya.

Kutipan hari ini adalah; jangan membuat ekspektasi untuk Victorius Vante.

Ia adalah pria yang tak bisa ditebak. Setiap kali berinteraksi dengannya, selalu ada sisi baru yang muncul. Dan Irene harus mengakui itu cukup menawan.

"A total scumbag is a little bit too much.." protes Vante sambil tertawa.

"Kalau begitu aku kurangi setengah. A half scumbag! Bagaimana? Sekaligus aku mengapresiasi karena kau tidak benar-benar mencuri ciuman dari bibirku yang masih suci."

Vante melongo tak percaya, "Jangan bilang kau belum pernah ciuman sebelumnya?"

"Sebuah keputusan yang bijaksana karena kau tidak mencuri ciuman pertamaku," Irene balas mengangguk yakin.

"Di umur segini? Dan dengan wajah seperti itu?"

Wah, gila. Sangat tidak terduga dan Vante tidak bisa memahami fakta ini. Menurutnya kualitas wajah dan personaliti Irene Bernice sendiri cukup untuk menarik atensi lelaki. Lantas masa belum ada pria yang menciumnya?

Vante mengerutkan dahi, heran. Atau mungkin Irene sendiri yang terlalu kaku? Ya, itu lebih masuk akal. Vante yakin sekali.

"Aku tidak menyangka ternyata kau sekaku itu. Atau mayoritas lelaki yang kau kenal itu tidak suka perempuan?"

Irene mendelik, "Bicaramu ngawur."

"First kiss itu bukan sesuatu yang spesial. Hanya sebuah ciuman. Bibirmu, bibirku, bertemu. Hanya itu saja."

"Orang-orang bilang itu spesial dan mendebarkan."

Rasanya frustasi sekali, tentu saja Vante tahu bahwa kedua bagian wajah itu bukan hanya bertemu. Tapi 'kan terlalu eksplisit jika diucapkan ke gadis berjiwa bocah 12 tahun ini. Jadi dia malah merespon dengan nada meremehkan. "Mereka itu mengarang dongeng untuk anak-anak."

Irene mendesis sebal, "Bisa jadi kau yang tak mengerti metode ideal dalam berciuman."

Usai kalimat itu, Vante merasa tertantang. Alisnya naik dengan antusias.

"Kau baru saja menantangku, ya?" Kurang lebih 15 sentimeter dari ujung hidung Irene, wajahnya mendekat.

Dibalik kelap-kelip lampu halaman dan bintang, seringai manis itu muncul.

"Mau coba, ya?" berhasil membuat Irene Bernice mematung seperti orang bodoh.

Victorius Vante, kurang ajar kau! []

___________

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

✔ Summer Flavor | salicelee.Kde žijí příběhy. Začni objevovat