1: Rasa Kesal

4.3K 717 58
                                    

No one knows, sometimes what looks like ending is a beginning.

|

❤🌞🍉

S a t u

|



Irene Bernice tidak pernah mengerti mengapa dia harus ada di situasi seperti ini.

Demi apapun, dia bukan mahasiswi yang suka mencari masalah. Baru seminggu ia menyandang gelar Miss SM University, tapi tiba-tiba terancam kandas di tengah jalan.

Astaga. Padahal gelar ini adalah salah satu senjata yang ia persiapkan sejak awal masuk kuliah supaya bisa lolos seleksi beasiswa Broadcasting bidang radio yang akan diadakan 4 bulan lagi.

All of this happened because of that sick bastard.

Namanya Victorius Vante Kim.

Irene tidak tahu banyak soal pria menjengkelkan itu. Yang Irene tahu, pria ini suka bertindak seenak jidat. Contohnya barusan, Vante tiba-tiba menciumnya di kantin kampus, disaksikan oleh ratusan pasang mata, dan sepertinya diabadikan di instastory atau snapchat.

Karena skandal ini, mau tidak mau sekarang dia duduk di kantor Dewan Layanan Mahasiswaㅡ bersebelahan dengan sang pelaku, Victorius Vante Kim, tentunya.

Sedari tadi kening Irene sudah mengkerut 12 garis, mendelik pedas ke arah Vante. Tapi apa? Tidak ada efeknya. Vante terlihat santai dan tidak peduli sama sekali. Bisa-bisanya pria itu sekarang tersenyum miring tanpa merasa bersalah.

"Benar-benar mengesalkan, sumpah," umpatan akhirnya keluar juga dari mulut Irene.

"Kau baik, Irene Bernice?" tanya salah satu staff Dewan Layanan Mahasiswa memastikan.

"Apa?" balasnya ketus.

Dasar Irene Bernice. Ia tipe yang terlampau jujur, sulit mengontpotong amarah, dan idiot dalam berpura-pura. Ibarat lilin, sumbunya pendek, tersulut sedikit langsung terbakar. Untungnya dia bukan tipe yang banyak bicara. Kalau sampai iya, hancurlah gendang telinga kalian semua yang berada di dekatnya.

"Irene Bernice, kau tahu kan kau ini Wajah Kampus?" Pria paruh baya itu menekankan suku kata terakhir.

Irene mengangguk malas menanggapi pertanyaan tersebut.

"Kalau memang begitu, mengapa kauㅡ"

"Pak, kalau Anda ingin tanya alasannya, jangan interogasi saya saja. Saya bahkan nggak kenal makhluk ini. Dia tiba-tiba nyosor dan... melakukan itu," kata Irene datar sambil mendelik sebal ke arah Vante.

"Memangnya tidak bisa cek CCTV saja?" tambah Irene perlahan, namun semakin bengis.

Maklum, sudah 1 jam ia menghabiskan waktu, duduk dengan gusar tanpa mendapat solusi apapun. Yang dia inginkan hanyalah mendapatkan kembali titelnya sebagai ambasador kampus dan masuk ke daftar kandidat penerima beasiswa tunggal.

Irene bukan berasal dari keluarga berstatus sosial tinggi. Masuk ke universitas ini merupakan mimpinya sejak SMA dan semua output didapat dari hasil kerja keras. Kalau bukan karena beasiswa prestasi, dia mau bayar pakai apa? Gaji part-time saja tidak akan cukup membiayai hidupnya dan adiknya, Jennie.

"Ah, benar juga.." jawab Si Bapak, semakin bikin jengkel.

Ketika pria paruh baya itu tengah meneliti CCTV, Irene membuang muka, tidak ingin menonton cuplikan itu. Malu, kesal juga. Ugh. Bercampur pokoknya.

Alih-alih tidak ingin melihat cuplikan itu lewat CCTV, tetap muncul jua bayang-bayang tatkala Vante berusaha menciumnya.

Irene mengacak rambut. Terlintas di benak ketika belah bibir milik Vante waktu itu hampir mendarat di bibirnya. Iya, hampir.

Sebetulnya Vante tidak benar-benar menciumnya.

Masih terbayang jelas di benak Irene ketika pria bersurai hitam itu memperkecil jarak diantara wajah mereka, dan Irene hanya bisa terpejam, tak mau melihat apapun.

Sejenak ketika keheningan merayap. Irene dapat mendengar detak jam menghitung maju; satu... dua... tiga...

Dan...

Irene tidak merasakan ada sentuhan lembut yang menyentuh bibir. Namun dengan jelas ia merasakan napas pemuda itu berkeliaran di telinganya, "Diam sebentar. 5 detik."

Satu...

Dua...

Tiga...

Empat...

Lima...

Begitu detik kelima, sepasang iris coklat Irene mengerjap perlahan, melihat senyum yang tersungging di wajah Vante begitu bola mata mereka bertemu setelah 'berciuman'.

Oh, demi Tuhan, senyum miring itu benar-benar menyebalkan.

Vante menatap Irene dengan sebuah senyum yang sulit diartikan. Diafragma Irene serasa terpompa 2 kali lebih kuat, dadanya kembang kempis. Di detik itu juga dia baru sadar bahwa citranya sebagai ambasador kampus telah hancur total dalam 5 detik.

Dan klimaksnya, beasiswa-yang hampir jatuh ke tangannya-akan berakhir naas.

Semua karena tindakan bodoh Victorius Vante yang seenaknya.

Semua karena si Vante Mengesalkan itu.

Irene bahkan tak sanggup melayangkan sebuah tamparan yang sebenarnya pantas diterima Vante. Ia hanya mengepal erat tangannya. Lalu melangkah pergi sambil meraih tasnya dengan sembrono.

Well, in fact, they didn't kiss. Indeed.

Namun dari sudut posisi CCTV, serta tangan Vante yang menutupi gerakan bibir mereka, membuat semua orang berpikir bahwa Ireneㅡdengan titel terhormatnyaㅡdisiram skandal berciuman di publik. Terdengar lucu, huh?

Irene tidak mengerti, apakah pria ini gila, atau seorang pria yang memiliki rencana gila terselubung, atau mungkin keduanya!

Percuma sekali mau dijelaskan juga tidak akan bisa merubah apapun. Intinya, perbuatan Vante memang seharusnya tidak pernah dilakukan.

"Besok, kami akan mengumumkan status titelmu dan status kandidatmu sebagai penerima beasiswa di cabang jurusan radio."

Irene hanya menghela napas pasrah. Entah lah, mau marah-marah kepada Vante juga rasanya percuma. Toh, tidak akan merubah apapun. Tapi kalau anak ini tidak dimarahi, nanti semakin menjadi. Menyebalkan.

Setelah keduanya dipersilahkan keluar, Irene beranjak dengan sangat cepat dari kursi.

"Santai saja, Nona," kata Vant,  masih dengan senyuman khasnya dan dibalas dengan tatapan galak milik Irene, tentunya.

Pria itu membukakan pintu, berlagak ala pelayan restoran bintang 5, mengulurkan tangannya seolah mengajak Irene keluar bersama.

Siapa yang akan sudi menerima uluran tangan kotor tersebut? Irene berjalan tanpa menggubris uluran tangan konyol itu, lalu sengaja menginjak kencang sepatu putih milik Vante.

"Sorry, sengaja kuinjak," Irene memberikan senyuman manis palsu.

Demi apapun, sebenarnya hasil injakan Irene lumayan sakit, cuman Vante berhasil menyembunyikan ekspresi kesakitan. Si Pemuda membalas dengan memasang wajah tersenyum lebar yang berhasil membuat Irene semakin keki.

"Dimaafkan." []

______________

Note:

Alo!

Diusahakan untuk up rutin tiap Jumat atau Senin malam. Kalau lumayan rame alias banyak peminat, aku bakal cepetin frekuensinya, jadi Jumat dan Senin malam. Hehe. (Idih, si author, macem ada yang nunggu aja. Cuih.)

|

[Cerita Summer Flavor sudah tamat. Sebagai pembaca yang budiman, harap meninggalkan jejak 👍]

✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now