17: Rasa Tak Nyaman

1.8K 442 41
                                    

It's a bliss, knowing nothing.

|

❤🌞🍉

T u j u h
b e l a s

|




Jam masih menunjukkan pukul sebelas kurang. Ditambah lagi, sekarang musim panas, jadi masih terang benderang.

Irene melirik Vante dengan kesal karena pria itu tidak mau mengubah saluran televisi. Padahal Irene ingin sekali menonton variety show kuliner milik Baek Jongwoon. Tapi tatapan Vante malah terfokus pada paha-paha mulus milik girlgroup yang sedang melenggang di acara musik.

Akhirnya Irene menawarkan Vante untuk beradu games di ponsel. Yang kalah harus mengalah dan menyerahkan remot TV kepada pemenang.

Mereka memilih acak, namanya game 1010. Sebuah permainan mirip tetris, yang mengharuskan si pemain menyusun sedemikian rupa dan menyisakan lahan untuk balok-balok berbentuk acak selanjutnya.

Irene percaya diri sekali karena dibandingkan Vante, kapasitas otaknya pasti lebih unggul. Wajar, toh dia mahasiswi IPK 3,98 dari 4,00.

Irene bakal bermain serius sekali memperjuangkan variety show yang hari ini dihadiri oleh Park Bogum, aktor favoritnya. Irene harus sekali menonton itu karena itu adalah kemunculan Park Bogum di publik setelah menghilang bak ditelan bumi sehabis syuting drama terakhirnya.

"Jangan harap aku mau mengalah untuk menonton si aktor Park," cetus Vante saat Irene kelepasan soal intensi aslinya.

Beberapa menit kemudian, Irene masih berkutat di ponsel, sama seperti Vante. Meski sepi, tapi sengit sekali. Hanya ada suara jangkrik dan angin malam yang berdengung. Saat ini skor Irene mencapai 6 digit diawali angka 2.

Kemudian tiba-tiba saja Vante melempar ponselnya ke karpet, dengan wajah masam.

"Kau kalah?!" tanya Irene dengan wajah berseri. "Iya, kan?! Payah!"

Kemudian dia melompat-lompat bahagia di atas sofa. Irene langsung merebut remote dari genggaman Vante. Lalu mengganti saluran televisi menjadi program yang dikehendakinya.

Vante melirik gadis itu dengan senyum tipis. Di layar ponsel yang ia lempar tadi, terpampang skor berjumlah 6 digit berawalan 5.

"Bocah," bisik Vante sambil melirik gadis kesukaannya yang tengah menonton televisi. Level kebahagiaan anak ini rendah amat.

Irene tak henti-hentinya mengeluarkan pujian sambil tersenyum-senyum sendiri. Pujian itu berhenti kala dering smartphone milik Irene berbunyi.

📞 Incoming call . . .
Dean Christopher


Irene berjalan keluar untuk menerima telepon, meninggalkan Vante yang sibuk mengudapi kentang goreng.

"Ya, Dean?"

"Lama sekali mengangkatnya. Kamu sudah makan, Tuan Putri?"

Tuan Putri, pikir Irene dalam hati. Panggilan yang biasa Dean selalu gunakan. Tapi, Irene tidak pernah terbiasa, "Oh, ya. Tentu. Kamu?"

"Aku tadi makan dengan Rose. Kamu tidak berduaan dengan Vante, kan?"

"Hah? Kenapa tiba-tiba?"

Dean tidak menjawab.

"Halo, Dean? Sebenarnya ada apa?"

"Entahlah. Kayaknya aku lagi banyak pikiran. Aku juga bingung..."

Irene menelan ludah. Rasanya ada sesuatu mengganjal dari perkataan Dean. Banyak pertanyaan bermunculan di kepalanya. Tapi ia kubur kembali. Irene tidak berani bertanya.

"... aku hanya nggak suka kamu bersamanya."

Deg.

Dean tadi bilang apa?

"Aku merasa tidak aman," lanjut pria itu membuat jantung Irene semakin berdegup.

Gila. Bukannya senang, Irene merasa tidak nyaman. Dean seharusnya tak boleh seperti ini. Ini tidak benar.

"Dean... kau baru saja makan malam dengan Rose, dan kau milik Rose."

"Aku tahu. Tapi, sungguh, akuㅡ"

"Dean. Kumohon jangan kacaukan aku. Kamu tahu faktanya. Soal aku yang memiliki perasaan padamu selama ini. Kamu sudah mengetahuinya. Aku sampai bohong kalau aku sudah tidak memiliki perasaan apapun padamu, supaya kita tidak canggung."

Irene melanjuti, ada keseriusan di dalam suaranya, gaya bahasanya sudah berubah daritadi. Irene benar-benar serius kali ini, "Kamu sudah tahu semuanya dan kamu tak seharusnya memperlakukanku seperti ini."

"Ireneㅡ"

"Kamu nggak boleh memberiku perhatian seperti itu."

"Kita teman, bukan? Apa salahnya teman memperhatikanㅡ"

"Teman? Dean, teman tidak begini. "
Irene menghela napas dongkol, setengah hatinya ingin berteriak, "Kenapa kamu melarangku untuk dekat dengan Vante? Tidak ada teman yang mendatangi malam-malam untuk sekadar menghibur, membawakan kue ulang tahun untuk adikku, bahkan sampai mengurusi peringatan kematian ibuku setiap tahun."

Di seberang sana, Dean terdiam. Napasnya terdengar berat, "... Irene, aku minta maaf. Aku juga takut. Kalau aku mengatakannya, aku hanya takut kalau aku akan menghancurkan banyak hal."

"Dean... sudahlah. Aku nggak ingin menjadi seperti ini lagi. Kita menyakiti satu sama lain."

"Apa akhirnya aku harus kehilanganmu? Selama ini aku cuman takut kehilangan kamu."

Irene menghela napas, menahan air matanya, "Kau ragu, Dean."

Air mata gadis itu luruh sebelum melanjutkan, Irene tahu suaranya terdengar serak. Sangat, malah.

"Kau ragu dengan perasaanmu sendiri. Mungkin karena perasaan itu tidak terasa nyata bagimu. Jadi lupakan saja, Dean."

"Sorry, Rene... I mean it. Boleh aku bertemu?"

Sambungan diputus Irene. Kepala Irene serasa kosong. Dia benar-benar tidak tahu harus melakukan apa. Gadis itu menempelkan punggungnya di belakang tembok, menangis tanpa suara. Seperti biasa. []

___________

Note:
Halo? Semua karakter kesayangan kita di Summer Flavor lagi pada sedih, nih.
Kalian jangan, ya.

Senang selalu.

✔ Summer Flavor | salicelee.Where stories live. Discover now